Oleh: Dahlan Iskan
Sang ayah tetap jadi lelaki yang tidak menangis. “Putri saya pasti bangga mendapat kesempatan mahal seperti ini,” ujar Ren Zhengwei.
Pendiri dan bos besar Huawei itu lagi berbicara tentang Sabrina Meng Wenzhou: putri pertamanya yang kini berumur 49 tahun. Yang pekan lalu genap setahun menjadi tahanan. Di negara sejauh Kanada.
Sang putri kini dianggap bapaknya sebagai hero. Sang putri dianggap telah menjadi martir bagi Huawei.
“Suatu saat kelak, kalau dia sudah bebas, posisinya di perusahaan tetap sama. Dia tetap menempati posisi yang dulu,” ujar sang ayah.
Posisi terakhir Sabrina adalah Wakil Chairman Huawei. Wakil ayahnya sendiri. Putri mahkota.
Saat itu pun Sabrina sudah tahu: lagi diincar Amerika. Tapi dia tetap melakukan perjalanan bisnis ke Meksiko.
Hanya saja Sabrina tidak mau transit di bandara Amerika --seperti San Francisco, Los Angeles, maupun San Diego.
Sabrina pilih transit di Kanada. Di bandara Vancouver. Toh ia punya KTP Kanada --Sabrina pemegang green card.
Ternyata di bandara Vancouver pun Sabrina ditangkap. Dimasukkan tahanan. Polisi Kanada mendapat perintah dari penguasa Amerika.
Sabrina seperti menjadi pion dalam perang dagang antara Amerika dan Tiongkok.
“Dia pasti bangga telah jadi koin untuk perjudian dua negara besar,” ujar sang ayah.
Maksudnya jelas: Putrinya itu telah menjadi barang taruhan di tengah pertengkaran dua negara besar.
Sabrina sendiri punya cara khusus untuk memperingati setahun penahanannya. Yakni menulis. Atau melukis.
Tulisan itu dimuat di website perusahaan --di website Huawei. Seluruh karyawan bisa membacanya.
Isinya sejuta rasa. Ada melankolisnya. Terutama di saat menjelang musim salju seperti ini. Sabrina seperti kaget melihat keindahan alam sekitarnya. Vancouver memang kota yang indah.
“Mendekati musim dingin seperti ini saya bisa melihat hutan dengan pepohonan yang rimbun seperti sedang menuruni gunung di sekitar kami,” tulisnya.
“Menjadi jelas sekali alam itu begitu indahnya. Bagi siapa saja yang mau melihatnya,” sambungnya.
Mungkin selama 49 tahun hidupnya belum pernah Sabrina punya kesempatan bisa begitu lama melihat pohon.
Sehari-hari hidupnya selalu di atas pesawat. Atau di depan komputer.
Dalam tulisannya itu Sabrina mengakui bahwa kini ritme kehidupannya menjadi lambat. “Saya menjadi bisa membaca buku secara teratur. Dari sampul depan sampai sampul belakang,” tulisnya.
Kadang Sabrina juga mengisi perlambatan hidupnya dengan melukis. Kini dia bisa dengan sabar menyelesaikan sebuah lukisan minyak.
Untuk mengisi waktu kosongnya di tahanan Sabrina juga membaca berkas perkara. Dan menelitinya. Bersama kolega-koleganya. “Saya bisa punya waktu membaca cacatan-catatan di sidang pengadilan dengan cermat,” tulisnya. “Dan bisa mendiskusikannya dengan kolega-kolega saya,” katanya.
Sabrina kini memang ditahan di rumahnya di Kanada. Di rumah yang sangat besar. Yang dijaga selama 24 jam sehari. Yang hanya sesekali saja ada sidang di pengadilan.
Bahkan sidang tahap pertamanya sudah selesai. Pengadilan sudah menjatuhkan vonis: untuk tetap menyidangkan perkara Sabrina.
Kesalahan Sabrina adalah: melawan Amerika --berani melakukan transaksi dengan Iran. Padahal Iran termasuk yang terkena sanksi Amerika.
Sidang lanjutan pengadilan itu akan dimulai Januari depan.
Di situ akan diputuskan: apakah pengadilan akan menyetujui permintaan Amerika. Agar Sabrina diekstradisi ke New York.
Kalau, misalnya, pengadilan menyetujui permintaan Amerika Sabrina akan ditahan di New York. Akan diadili di New York. Bisa kena hukuman penjara 20 tahun.
Praktis selama Nopember-Desember Sabrina menganggur di rumahnyi.
Di kakinyi tetap dipasang gelang elektronik. Agar bisa dimonitor --ke mana saja Sabrina.
Dia memang boleh keluar rumah. Boleh jalan ke kota. Tapi tidak boleh melebihi batas. Juga tidak boleh mendekati bandara.
Sabrina kini kelihatan sudah bisa menata hati. Bahkan Sabrina sudah bisa berterima kasih kepada kebaikan banyak orang --termasuk petugas-petugas yang menahannya di bandara dulu.
Apalagi ketika pengadilan akhirnya memutuskan Sabrina boleh ditahan luar. Dan saat itu pengunjung sidang bersorak gembira. “Saya begitu terharu. Sampai menitikkan air mata. Masa paling sulit dalam hidup saya sudah lewat,” tulisnya.
Hari itu Sabrina juga ingat: menjelang musim salju seperti sekarang ini. Pembebasannya itu membuat hatinya hangat. Apalagi kalau dia mengenang ibunya yang sudah tua. Yang juga menunggu di rumahnya di Kanada.
Sang ibu, Meng Jun adalah istri pertama ayahnya.
Setelah Sabrina berumur 16 tahun sang ibu menjadi janda. Ren Mengzhou menceraikannya.
Sejak itu pula Sabrina mengganti marga. Dari marga Ren ke marga Meng --menggunakan marga ibunya.
Ren Wenzhou lantas kawin lagi. Dengan sekretarisnya: Yao Ping. Yang melahirkan anak perempuan dengan ‘i’ lima. Namanya: Annabel Yao.
Sudah cantiiiiik cerdas pula. Kini Annabel berumur 20 tahun. Kinyis-kinyisnya. Kuliahnya di jurusan komputer. Di universitas terbaik dunia: Harvard. Di Boston, Amerika.
Annabel pula yang bikin heboh tahun lalu. Saat dia tampil di pesta paling jetset di muka bumi: Le Bal des Debutantes. Di Paris.
Yakni pesta dansa yang hanya boleh diikuti gadis berumur antara 19-21 tahun. Yang harus cantik --dengan ‘i’ lebih dari tiga. Juga harus pandai sekali. Dan orang tuanya harus kaya dengan kekayarayaan minimal ‘a’ lima.
Heboh lainnya: Annabel suka mejeng di medsosnya --tapi followernya hanya 40 ribu. Mungkin banyak calon follower yang minder duluan.
Sabrina Meng tidak kalah cerdas. Sabrina adalah lulusan Huazhong Science and Technology --sejajar dengan Tsinghua University: MIT-nya Tiongkok.
Hanya saja Tsinghua ada di Beijing. Sedang Huazhong ada di Kota Wuhan --kota terbesar di Tiongkok Tengah.
Kampus Huazhong luasnya 470 hektare.
Setelah setahun berada di tahanan Sabrina mengaku tidak lagi tertekan. “Meski jauh di Kanada saya sudah merasa seperti dekat dengan rumah,” tulisnya.
Rupanya bagian ini untuk membesarkan hati seluruh karyawan Huawei. Yang tingkat keprihatinan mereka pada Sabrina luar biasa.
“Saya juga tidak lagi punya rasa takut. Tidak pula takut menghadapi jalan terjal di depan,” tulis Sabrina.
Memang, tulisnya, kebebasan saya sekarang ini sangat terbatas. “Saya masih memerlukan kebebasan jiwa saya,” tulisnya.
Namun Sabrina kelihatan sudah lebih tenang. Termasuk dalam menghadapi sidang Januari nanti.
Hanya saja Sabrina punya satu permintaan: agar sidang itu tidak disiarkan langsung oleh televisi.
Malu?
Sama sekali tidak.
“Hanya supaya tidak dilihat Trump,” katanya.
Saya punya alasan lainnya: Kalau Trump melihatnya tiap hari bisa-bisa jatuh cinta padanya.
Saya tahu Ren Wenzhou tidak menangis melihat nasib Putrinya. Tapi bisa jadi hatinya berdarah-darah.(*)