Pajak Rajapaksa

Rabu 04-12-2019,09:44 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Begitu mendarat di Sri Lanka saya ingat Buddha. Saya pernah dua kali dianggap Buddha dan Buddhis. Buddha telah membuat saya lancar masuk ke Sri Lanka. Antrean visa on arrival Jumat lalu itu panjang. Di belakang petugas ada tulisan USD 40. Untuk sekali masuk negara itu. Saya pun tahu cara untuk lancar. Saya sudah siapkan jawaban untuk pertanyaan ‘tujuan ke Sri Lanka’. “Ke kuil Buddha,” jawab saya. “Anda Buddhis?” Yang bertanya menghadap komputer. Saya diam saja. Diam itu rupanya disamakan dengan ‘ya’. Saya pun diantar ke loket imigrasi. Kasihan yang antre di belakang saya --ditinggal begitu saja. Di imigrasi saya langsung diserahterimakan ke petugas paspor. Tanpa harus antre. Tidak ada pertanyaan lagi. Paspor pun langsung distempel. Uang USD 40 dolar yang sudah saya pegang masuk ke saku lagi. Toh di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya harus ke kuil terbesar di situ. Seperti kalau ke Eropa harus ke gereja legendaris. Dan lagi saya toh sangat familiar dengan kuil Buddha. Begitu banyak kuil Buddha yang mengundang saya --di Medan yang luasnya 30 hektare itu, di Jakarta yang dekat Ancol itu, di Gorontalo yang dekat teluk itu. Tak terhitung. Buddha Empat Wajah di Kenjeran Surabaya saya juga yang diminta meresmikan. Demikian juga kuil yang di Samarinda --sampai teman saya yang Islam harus salat asar di dalam kuil itu-- seizin Biksu di situ. Saya juga pernah diminta mewakili umat Buddha --untuk memberi sambutan di depan Bapak Presiden SBY di Borobudur. Kini saya datang ke negara Buddha. Lebih 65 persen penduduk Sri Lanka adalah Buddha. Ups, saya juga ingat saat di Kamboja awal tahun ini. Di Kamboja-lah saya mengurus visa ke India. Saya pun ke perusahaan pengurusan visa. Tinggal serahkan copy paspor dan bayar di situ. Semua formulir ia yang mengisi. Setelah semua berkas selesai barulah saya ke kedutaan besar India di Phnom Phen. Dalam perjalanan itu saya baca-baca isi dokumen. Saya pun tersenyum: di situ ditulis agama saya Buddha. Kini Sri Lanka kembali menarik perhatian saya. Dengan presiden barunya yang ‘hanya’ berpangkat letnan kolonel: Gotabaya Rajapaksa. Hampir saja Letkol Gota gagal jadi capres. Penyebabnya: ia telanjur jadi warga negara Amerika Serikat. Sepuluh tahun Letkol Gota tinggal di Amerika. Sejak memutuskan pensiun dini dari dinas kemiliteran. Di sana Letkol Gota ambil gelar doktor. Bidang komputer. Lalu bergabung ke sebuah perusahaan besar di California. Isu kewarganegaraan itu tidak muncul selama Letkol Gota menjabat menteri pertahanan. Di zaman kakak kandungnya, Mahinda Rajapaksa, menjabat Presiden Sri Lanka. Padahal 10 tahun Letkol Gota menjadi menteri. Begitu mencapreskan diri, soal kewarganegaraan itu tidak hanya digugat --bahkan diperkarakan lewat pengadilan. Akhirnya pengadilan memutuskan: Letkol Gota berhak menjadi capres. Waktu menjadi warga negara Amerika itu Letkol Gota tidak melepaskan kewarganegaraan Sri Lanka. Ia memegang dua paspor --dwikewarganegaraan. Putusan itu agak telat: 4 Oktober lalu. Sampai-sampai Letkol Gota tidak ikut debat publik pertama: 5 Oktober. Tapi Letkol Gota punya nama. Ia pernah mendapat gelar pahlawan --biar pun masih hidup. Di masa ia jadi Menhan-lah perang sipil selama 30 tahun berakhir. Letkol Gota pun memenangi pilpres. Dengan perolehan suara 52 persen. Suku mayoritas Sinhala Buddha memihaknya. Ia kalah di lingkungan suku Tamil --baik Tamil yang Hindu maupun Tamil Islam. Tiga gebrakan langsung dilakukan presiden baru. Bukan di 100 hari pertama, tapi di satu minggu pertama. Pertama, ia mengangkat kakaknya --mantan presiden itu-- sebagai perdana menteri Sri Lanka (Lihat edisi kemarin: Presiden Letkol). Kedua, ia langsung mengunjungi India --yang renggang sejak 15 tahun lalu. Ketiga, melakukan pemotongan pajak besar-besaran. Bahkan beberapa jenis pajak dihapus. Tiga hari Presiden Gota di New Delhi. “Pokoknya saya akan bikin hubungan dengan India pada level yang tertinggi,” ujarnya ketika di New Delhi Sabtu lalu. Waktu saya mendarat di Colombo, ia mendarat di New Delhi. Tiga hal yang membuat India renggang dengan Sri Lanka. Semua tidak terkait penculikan Dewi Sita oleh Rahwana. Pertama, soal banyaknya nelayan India yang ditangkap di Sri Lanka. Kedua, soal mesranya hubungan Sri Lanka dengan Pakistan --temannya musuh adalah juga musuhnya. Ketiga, ehm, terbentuknya poros Colombo-Beijing (DI's Way kemarin). India menjadi dikepung dari tiga arah mata angin --utara (Tiongkok), barat (Pakistan) dan selatan (Sri Lanka). “Please, India tanam modal di Sri Lanka,” ujar Presiden Gota di New Delhi. Ia juga minta Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan negara barat tanam modal di Sri Lanka. “Agar kami tidak tergantung pada Tiongkok,” katanya. “Hubungan kami dengan Tiongkok adalah komersial biasa,” tambahnya. Dengan menancapkan jangkar di Sri Lanka dan Pakistan Tiongkok memang langsung menguasai jalur strategis Samudera Hindia. Sri Lanka memang hanya negara satu pulau kecil. Di tangan Dinasti Rajapaksa ia ingin jadi Singapura kedua. Ups, kalimat terakhir itulah nomor 4 --yang membuat India was-was.(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait