Kenangan Kenanga dari Tugas Dinas di Pedalaman Kalimantan (7-habis)

Rabu 14-12-2022,10:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Kenanga sama sekali tak pernah berkeinginan untuk menggugurkan bayi tersebut. Perempuan ini yakin suatu saat Slamet pasti akan datang ke Kapuas. Entah kapan. Eloknya, sikap ini didukung ayah dan ibunya. Karena itulah mereka menganggap Slamet sebagai anggota keluarga. Hamarung apalagi, sudah membubuhkan stempel Slamet sebagai anak sendiri. Hanya pengakuan secara agama dan negara  yang belum menyatakan Slamet dan Kenanga sebagai pasangan suami-istri. Hati Slamet bergejolak. Dia tak mampu membayangkan apa yang terjadi pada Kenanga sepeninggalnya sampai keluarga gadis tersebut menganggap Slamet sebagai keluarga. Sebagai suami Kenanga. Beribu tanda tanya beragam ukuran bersliweran di benak Slamet. Semua serba tidak masuk akal. Termasuk pertanyaan: dapat kabar dari mana sampai Hamarung sekeluarga tahu persis kedatangannya di Kapuas. Tepat waktunya, lagi. Saking berjejalnya pertanyaan tanpa ada yang bisa dijawab, Slamet merasa kepalanya berat… berat… berat… dan hilang kesadaran. Slamet pingsan tepat di depan rumah Hamarung. Begitu membuka mata, sesosok manusia kecil terlihat di depan mata Slamet. Anak tersebut, yang berusia sekitar setahunan, tersenyum ke arahnya. Dia dengan tenang di duduk pangkuan Kunum (bukan nama sebenarnya), ibu Kenanga yang juga istri Hamarung. “Papa?” ucapnya lirih. Cedal. Rasa pening yang berangsur-angsur menghilang balik lagi. Ada rasa mengganjal di tengkuk. Beragam pertanyaan yang belum semua terjawab kini ditambah satu lagi: siapa manusia kecil ini? Tapi, nalurinya mengatakan bahwa manusia kecil, lucu, dan bersorot mata bening itu adalah anaknya hasil hubungan dengan Kenanga. “Dia kami beri nama Slamet, sama dengan namamu. Itu permintaan Kenanga di akhir hayatnya saat melahirkan anak ini,” kata Kunum sambil menyorongkan Slamet kecil ke pangkuan Slamet. Air mata tak mampu Slamet bendung. Dia dekap Slamet kecil erat-erat. Kenangan bersama Kenanga, terutama malam terakhir di Kapuas, kembali berputar-putar di benaknya. Kehadiran Slamet kecil mengguncang hati Slamet. Berkali-kali dia pandang mata bocah itu. Mata yang bening, yang menyiratkan kejujuran. Mata yang belum terkotori debu-debu dosa. Akankah Slamet sanggup meninggalkan bocah tersebut begitu saja, seperti dulu dia meninggalkan Kenanga? Di sudut hatinya yang lain Slamet berpikir, andai Slamet kecil dia boyong ke Surabaya, bisakah istri dan anak-anaknya menerima? Bagaimana pula cara menjelaskan asal-usul bocah tersebut? Dll. Dsb. Dst… Seperti bisa membaca isi pikiran Slamet, Hamarung yang tiba-tiba muncul berkata, “Nak Slamet tidak usah berpikir sejauh itu. Biarkan kami yang merawat Slamet kecil di sini. Kami menganggap dia sebagai pengganti Kenanga.” Hamarung hanya meminta, pada saatnya nanti, Slamet kecil harus mengetahui dan mengenal ayah kandungnya. Nanti, saat Slamet kecil sudah bisa memahami sisi-sisi kehidupan. “Saat itulah Nak Slamet harus hadir di depan dia. Kalau sebelum-sebelum itu Nak Slamet ingin bertemu dia, rumah kabendumi sangat terbuka,” tutur Hamarung. Pelan tapi tegas. Yang jelas, Hamarung tidak ingin rumah tangga Slamet di Surabaya berantakan gara-gara persoalan ini. “Kenanga juga pernah berharap begitu. Kalau Nak Slamet sempat mengenal lebih jauh anak kami itu, kami yakin Nak Slamet akan merasakan indahnya surga di dunia. Sayang...,” tutur lelaki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Ada air mata menggenang di sudut matanya. Slamet tak mengerti arti kalimat ini, tapi dia yakin bahwa Hamarung teramat sangat kehilangan Kenanga. “Kami hanya berpesan; jangan sakiti lagi anak dan istrimu, karena itu sejatinya juga menyakiti hati Kenanga di alam sana.” (jos, habis)    

Tags :
Kategori :

Terkait