Hidup Sepi, Pengap, dan Gelap di Dalam Kotak Pandora
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Berti (29, bukan nama sebenarnya) merasakan hidupnya seperti di dalam kotak pandora. Sempit. Pengap. Gelap. Tidak bisa membedakan saat ini pagi, siang, sore, atau malam.
Tinggal di tengah keluarga miskin bukanlah keinginan Berti. Tapi, itulah takdir yang harus diterimanya. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia terpaksa meninggalkan bangku pendidikan setelah lulus SMA.
Ayahnya yang hanya tenaga keamanan perusahaan, satpam, dan ibu yang tenaga kebersihan sekolah tidak memungkinkan Berti mengenyam pendidikan tinggi. Dia bahkan dituntut untuk ikut membantu biaya sekolah adik-adiknya yang semua laki-laki.
Berti akhirnya terdampar di sebuah yayasan yang mengurusi anak yatim. Sebagai tenaga administrasi dan pencari donatur. Gaji dari yayasan inilah yang dia pakai untuk membantu membiayai kedua adiknya. Ia bertekad, biarlah dirinya yang mengalah, asalkan adik-adiknya bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Sayang, ketika Berti baru setahun bekerja serta adiknya masih duduk di bangku kelas satu SMA dan kelas dua SMP, ayah mereka meninggal dunia. Lelaki yang sudah cukup lama menderita rematik tulang tersebut terjatuh ketika membetulkan genting rumah yang bocor.
Sejak itu beban Berti terasa lebih berat. Apalagi setelah ibunya divonis dokter menderita radang paru-paru. Perempuan paruh baya ini harus menjalani perawatan rutin di rumah sakit.
Meski sebagian biaya perawatan ditanggung BPJS, ada obat-obat tertentu yang harus ditebus sendiri. Ini sangat memberatkan, sampai-sampai suatu ketika Berti memutuskan untuk tidak lagi menebus obat ibunya. Ketika ditanya kok obatnya berkurang, dengan berat dikatakan bahwa ibunya sudah agak sembuh.
“Beruntung yayasan memahami kondisi kami. Kedua adikku diminta membantu di sini dan biaya pendidikan mereka ditanggung yayasan. Mereka kerja paruh waktu, sehingga sekolah dan belajarnya tidak terganggu,” cerita Berti ketika ke rumah untuk mengambil donasi keluarga kami.
Memorandum sudah lama menjadi donatur di yayasan tempat Berti bekerja. Sejak 1999. Karena itu, Memorandum mengetahui betul kapan Berti masuk yayasan ini menggantikan karyawan sebelumnya yang harus banyak beritirahat karena usianya sudah lanjut.
Bertilah yang harus berhadapan dengan para donatur. Kadang menjemput donasi ke rumah-rumah atau sekadar mencatatnya di buku admin yayasan. Makanya dia akrab betul dengan keluarga para donatur, termasuk dengan istri Memorandum.
Kisah ini Memorandum tulis dari curhatan Berti kepada istri Memorandum. Sekali-sekali Memorandum ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Terutama bila Berti datang ke rumah pas hari Minggu atau hari libur lain.
“Sekarang Bandi (nama samaran adik Berti, red) sudah kelas tiga. Sebentar lagi lulus dan butuh biaya besar untuk kuliah. Doakan ya Tante, Om,” ujar Berti dengan penuh harap.
“Kalau adiknya kuliah, kapan kakaknya menikah?” tanya istri Memorandum.
Mendengar pertanyaan ini, wajah Berti mendadak berubah. Dari ceria menjadi muram. Gestur tubuhnya jadi kaku. Seperti orang terjebak di dalam lubang sumur dan ingin keluar darinya.
“Mohon maaf Tante, Om,” katanya tiba-tiba sambil mengambil HP dari tas, “Ada telepon dari yayasan. Mohon pamit dulu.” Tanpa menunggu jawaban, Berti mengulurkan tangan, mengajak bersalaman, lantas mengangguk dan pergi. (bersambung)