Pengusaha Terseret

Kamis 14-11-2019,08:30 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Acaranya makan siang. Dengan delapan pengusaha besar di Jakarta. Hanya makan siang. Masakan Italia. Di Shangri-La Hotel. Saya memanfaatkannya untuk survei kecil-kecilan. Saya tanya mereka satu persatu. Saya ingin tahu keadaan ekonomi Indonesia yang akan datang. Pertanyaan saya sama --meski usaha pokok mereka tidak ada yang sama: Apakah tahun depan usaha mereka lebih baik? Atau sama saja? Atau menurun? Mereka pun bertanya: ukurannya apa? Saya tidak mau pakai ukuran. Ini sangat mikro perusahaan. Tiap perusahaan pasti tahu masa depan masing-masing. Pun bila dikaitkan dengan kondisi ekonomi dan politik negara. Mereka pun mulai menjawab secara berurutan. "Sedikit lebih baik," kata yang pertama. "Sama saja," kata yang kedua. Ternyata enam orang menjawab lebih baik. Dua orang mengatakan sama saja. "Licik," sela seorang dari mereka. "Pak Dahlan sendiri belum memberi jawaban," tambahnya. "Betul. Betul. Pak Dahlan sendiri bagaimana?" kata yang lain serentak. Terpaksa saya beropini. "Saya akan lebih baik," jawab saya. Saya lupa untuk jujur. Dari mana bisa lebih baik? Tapi saya juga tidak salah. Di saat ekonomi nasional kurang baik pun pasti ada beberapa perusahaan yang mencapai kemajuan. Penurunan ekonomi nasional tidak membuat semua perusahaan menurun. Ada saja yang di saat sulit masih bisa meraih kemajuan. Misalnya mereka yang: - Jenis usahanya sesuai dengan perubahan yang terjadi. - Seluruh jajarannya optimis dan bekerja lebih keras. Seminggu sebelum itu, di Hangzhou, saya makan bersama dengan seorang pengusaha. Yang harga sahamnya naik 200 persen tahun ini. Padahal perang dagang Tiongkok-Amerika sedang berlangsung. Yang membuat banyak perusahaan lain mengalami penurunan. "Saya justru bersyukur terjadi perang dagang," katanya. Bidang apakah usaha teman saya itu? Ia bergerak di bidang microchip. Produksinya meningkat drastis. Harganya jualnya naik. Sejak Amerika melarang penjualan microchip-nya ke Tiongkok. Saya mengajaknya toss berkali-kali. Saya ucapkan selamat padanya. Atas nasib baiknya itu. Saya juga akan mengucapkan selamat pada enam pengusaha Jakarta itu. Yang optimis usaha mereka akan membaik itu.  Saya akan menyalami mereka tahun depan. Kalau terbukti usaha mereka 'lebih baik dari tahun ini'. Berarti mereka bekerja lebih keras. Setidaknya mereka tetap fokus pada bidangnya. Tidak ikut terombang-ambing masalah politik. Semua pengusaha baiknya begitu. Jangan terbawa arus. Setahun ke depan arus politik masih kuat. Apalagi tim ekonomi pemerintah saat ini didominasi orang politik. Menko ekonominya ketua umum partai politik (Golkar). Menteri perdagangannya dari Partai PKB. Menteri perindustriannya dari Partai Golkar. Demikian juga menteri investasinya. Hanya menteri keuangan yang teknokrat. Seratus hari pertama kabinet ini penuh dengan jadwal kongres partai. Tidak habis-habisnya. Lengkap dengan perebutan kursi ketua umumnya. Tahun depan sudah pula waktunya pilkada serentak. Partai-partai sangat fokus di sana. Tahun depannya lagi sudah siap-siap Pemilu 2024. Yang akan lebih seru: tidak ada lagi incumbent di sana. Saya alpa memperhitungkan ini: persiapan untuk pemilu 2024 ternyata datang lebih awal. Saya pikir setidaknya masih ada waktu dua tahun untuk memikirkan ekonomi. Ternyata rangkulan politik sudah mulai terjadi --pun ketika pemerintahan Jokowi baru mengumumkan kabinet. Kesibukan Pemilu 2024 telah datang. Terlalu dini. Siapa pun akan mudah terseret ke dalamnya. Hanya pengusaha yang tidak terseret yang tidak akan merana. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait