Dugaan Mafia Tanah Lombok, Saksi Ahli Tegaskan Ada Keteledoran di Bappeda

Kamis 19-05-2022,19:33 WIB
Reporter : Syaifuddin
Editor : Syaifuddin

Mataram, memorandum.co.id– Terbitnya surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) pajak bumi dan bangunan (PBB) oleh Bappenda Lombok Barat dalam satu objek adalah kesalahan dari pihak Bappenda. Seharusnya hal ini tidak terjadi jika ada ketelitian atau tidak adanya permainan. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan perkara dugaan mafia tanah yang menyeret Muksin Mahsun ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri Mataram, Kamis (19/5/2022). Muksin maksun diadili atas dugaan memberikan keterangan palsu pada akte autentik SPPT lahan seluas 6,37 hektare terletak di Gili Sudak, Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. SPPT atas namanya digunakan sebagai dasar (alat bukti) menggugat ke Pengadilan Negeri Mataram agar bisa menguasai lahan yang disengketakan. Saksi ahli perpajakan dari Kementerian Keuangan Sukma Wahyudi mengatakan seharusnya tidak terjadi adanya SPPT ganda jika SOP dilalui. "Bahwa perubahan nama atau pemilik objek yang kena pajak itu harus ada dasar kepemilikan, yakni sertifikat. Karena sertifikat merupakan bukti yang sah menurut Undang Undang Agraria sebagai pemilik suatu obyek tanah, bukan SPPT. Sebab SPPT hanya merupakan pendukung saja," jelas  Sukma Wahyudi. Saksi ahli yang didengar kesaksiannya melalui zoom ini, menjelaskan, apabila terjadi SPPT ganda maka penyelesaiannya melalui pengadilan pajak. Ketua Majelis Hakim Muslih Harsono kepada saksi ahli sempat mengulangi beberapa kali seputar siapa yang patut dipersalahkan atas terbitnya SPPT ganda. Pemilik yang ada pada SPPT atau pihak Bappenda? Meski tidak secara tegas menyalahkan Bappenda namun ia mengungkapkan jika aturan main dilalui, yakni persyaratan penerbitan SPPT itu. Perlu diketahui dalam kasus ini tidak hanya Muksin Mahsun yang diseret sebagai tersangka. Penyidik Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan tiga orang lainnya dengan berkas terpisah. Dua di antaranya aparat penegak hukum, satu lagi dari pegawai Bappenda Lombok Barat Lalu Supriawan S. Namun, kasus Lalu Supriawan tidak bisa dilanjutkan karena yang bersangkutan meninggal dunia setelah berkas pemeriksaan perkaranya lengkap (P21) oleh Kejaksaan Tinggi Mataram. Sengketa lahan ini berawal dari upaya terdakwa Muksin Mahsun ingin menguasai lahan dengan bekal SPPT atas namanya yang diterbitkan Bappenda Lombok Barat 2017. Padahal obyek ini dikuasai oleh Debora Sutanto yang diperolehnya dengan cara jual beli dari Ny Emytha Dwina Taihutu sekitar 2015 atas sertifikat hak milik yang dibaliknamakan langsung ke atas nama Debora Sutanto sendiri. Setelah itu Debora menguasai dan memanfaatkan lahan tersebut yang dibelinya dari Emytha Dwina Taihutu serta membayarkan pajak SPPT, PBB tiap tahunnya. Kemudian membalik nama SPPT PBB tersebut dari atas nama pemilik awal yakni Bitsu menjadi Debora Sutanto pada tahun 2018 sampai sekarang. Namun belakangan diketahui adanya gugatan perdata yang dilakukan terdakwa atas lahan milik Debora. Dalam perkara perdata ini yang masih di tingkat kasasi. Dalam sidang sebelumnya, enam saksi dari pejabat dan operator penginput data Bappenda Lombok Barat, menegaskan tidak pernah tahu pengajuan perubahan nama SPPT PBB atas nama terdakwa. Berkas termasuk sertifikat yang menjadi syarat mutlak perubahan SPPT juga tidak ditemukan. Sidang akan dilanjutkan pada 30 Juni. (Iku)

Tags :
Kategori :

Terkait