Kasus Pemalsuan SPPT di Gili Gede, Mantan Kepala Bapenda Akui Kurang Teliti

Selasa 19-04-2022,09:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Mataram -memorandum.co.id.- Terdakwa kasus dugaan pemalsuan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) di Gili Gede, Sekotong, Lombok Barat (Lobar), Muksin Mahsun, telah menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Kamis (14/4) lalu. Pada sidang tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan mantan Kepala Bapenda Lombok Barat (Lobar) Lale Prayatni. Seperti diberitakan lombokpost.jawapos.com JPU Heril Iswandi mempertanyakan mengenai proses penerbitan SPPT. Juga mempertegas bagaimana bisa terbit dua SPPT di satu objek tanah di Gili Gede. "Apakah benar SPPT yang dipegang terdakwa dengan korban (pelapor) dikelurkan Bapenda," tanya Heril dipersidangan. Kepala Bapenda Lobar periode 2016-2018 Lale Prayatni  membenarkan dua SPPT itu dikeluarkan Bapenda. Hanya saja dia tidak mengetahui mengapa ada dua SPPT yang terbit. “Karena banyak yang saya tandatangani. Saya tahunya ada dua SPPT terbit setelah diperiksa di BAP kepolisian,” jawab Lale. Dia mengakui tanda tangan yang ada di dua SPPT seluas 6,37 hektare itu diteken dirinya.  Hanya saja Lale menjelaskan bahwa dia menandatangi banyak SPPT dan tidak secara teliti mengecek satu persatu. ”Pernah atau tidak tanda tangani SPPT atas nama Muksin Mahsun, saya lupa,” akunya. Lale menekankan bahwa tidak mungkin mengecek SPPT satu persatu. Dia berdalih bahwa SPPT yang akan ditandatanganinya tentu sudah tidak ada masalah. Karena akunya, penerbitan SPPT tentu ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya harus ada foto copy sertifikat tanah yang akan diterbitkan SPPT. “Kalau tidak ada sertifikat tidak bisa setahu saya,” akunya. Mendengar kesaksian Lale, Penasihat Hukum terdakwa Muksin Mahsun,  Muhammad Al Ayyubi mengajukan pertanyaan. “Bagaimana kalau tidak ada sertifikat tetapi ada surat  akta jual beli, apakah bisa,” tanya Al Ayyubi. Saksi tetap dengan pendapatnya bahwa harus ada sertifikat bagi pemohon SPPT. “Harus ada sertifikat (foto copy),” ujarnya. Mendengar kesaksian Lale, Ketua Majelis Hakim Musleh meluruskan, untuk penerbitan SPPT tidak harus ada sertifikat. Karena di Indonesia ini sebagian besar masyarakat belum memiliki sertifikat. “Kalau harus punya sertifikat pasti susah mengurusnya. Sementara di Indonesia ini termasuk di Jawa yang sudah maju masih banyak belum memiliki sertifikat. Itu sebabnya presiden itu ada program bagi-bagi Prona,” kata Musleh menceramahi saksi Lale. Hakim Anggota Mahyudin Igo juga mengingatkan saksi untuk teliti menerbitkan SPPT. Sebab  saat ini sedang maraknya  mafia tanah di Indonesia. Termasuk di  Lombok. Mahyudin menekankan para mafia saat ini melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Walaupun dengan merugikan orang lain. “Saudara sebagai pejabat harus hati-hati. Kasih tahu sama pejabat yang saat ini menerbitkan SPPT itu juga,” tukas Mahyudin. Sementara dikutip dari suarantb.com, saksi lain, Ilham Fahmi yang saat itu bertugas sebagai operator penginputan data SPPT juga mengaku tidak mengetahui adanya permohonan SPPT dari terdakwa Muksin Mahsun. “SPPT atas nama Muhsin Mahsun saya tidak tahu, tapi setelah penyidikan baru saya tahu ada SPPT atas nama Muhsin Mahsun ini,” ungkapnya. Dalam penginputan SPPT, lanjut Ilham, Bappenda Lobar memiliki enam operator, hanya saja empat orang yang bisa mengakses ke sistem, termasuk dirinya. Masalah kemudian ada SPPT terdakwa ia tak mengetahui jelas siapa yang mengiputnya, karena ia hanya bertugas menginput file yang sudah jadi. Pun demikian dengan saksi Lalu Putranon, di hadapan majelis hakim, JPU dan terdakwa Muksin Maksun ia mengaku tak tahu menahu sampai munculnya SPPT atas nama terdakwa pada lahan yang sudah memiliki SPPT dan sertifikat tersebut. “SPPT atas nama Muksin Maksun saya tidak tahu. Saya tugas tahun 2020-2021. Selama saya bertugas saya tidak tahu ada SPPT atas nama Muksin Maksun,” ucapnya.(*/asw)

Tags :
Kategori :

Terkait