Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (21)

Senin 11-04-2022,12:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Sekuat tenaga Toh Kuning mencoba lepas dari pengaruh tenaga inti Begawan Purna Bidaran. Keringatnya mengucur deras, kedua kakinya pun bergetar hebat saat ia mencoba bergeser maju setapak. Namun yang menjadi lawan adalah gurunya sendiri. Seorang brahmana yang telah menjadi perbincangan orang-orang Kediri sebagai titisan penguasa semesta. Pada saat itu, Toh Kuning telah mencapai batas tertinggi tenaga intinya tetapi ia tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan Begawan Bidaran. Begawan Bidaran kemudian berkata,”Aku tidak akan membiarkanmu menemui kegelapan dan kemudian terjerumus untuk selamanya. Tapi jika kau menghendaki untuk membiarkan kegelapan itu menguasai hati dan perasaanmu, pergilah dan jangan sekali-kali pernah menganggapku sebagai seorang guru ataupun orang tuamu.” Kalimat terakhir Begawan terasa bagaikan sayatan sembilu yang membelah isi dadanya. Rasa pedih dan perih kembali membayangi Toh Kuning yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya sejak usia dini. Kedua orang tuanya telah berpulang saat ia masih dalam buaian. Paman dan bibi yang mengasuhnya menjadi korban kebakaran yang melanda desanya ketika para prajurit Kediri memburu kawanan penyamun. Kemudian Begawan Purna Bidaran membawanya ke padepokan ketika brahmana ini datang ke desanya setelah melihat kepulan asap tebal membumbung tinggi. Semenjak itulah Toh Kuning hidup bersama Begawan dan para cantrik yang lain. Ia tumbuh berkembang dalam pengawasan Begawan. Sementara para cantrik Begawan sendiri mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah orang-orang yang dulu berwatak kasar, meskipun ada cantrik yang berasal dari golongan petani dan pedagang. Namun mereka berkumpul dalam bimbingan Begawan untuk sebuah tujuan mulia. Beberapa tahun kemudian Toh Kuning beranjak remaja, datanglah Ken Arok yang diantarkan oleh seorang yang berwatak jahat. Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka berdua untuk menjalin persahabatan hingga akhirnya mereka bekerja sama menghadang rombongan Mahendra. Oleh karena itu, kedua lutut Toh Kuning terasa lepas dari persendian. Kekuatan ilmu dan tenaga Toh Kuning pun seolah lenyap tiada bekas ketika ia mendengar kata-kata gurunya. Lalu ia menyerah dan tunduk pada kehendak Begawan Bidaran. Toh Kuning yang terjatuh diatas kedua lututnya, kini memutar tubuhnya dan lurus berhadapan kembali dengan gurunya. “Terserah kehendakmu, Guru,” kata Toh Kuning tanpa daya. “Menuntut balas atas perbuatan Mahesa Wunelang bukanlah suatu keadilan. Karena keadilan itu selalu memberi nilai yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda. Kematian Mahesa Wunelang akan meninggalkan kemarahan pada keluarga dan orang-orang dekatnya. Kematianmu akan membawa penyesalan yang dalam bagiku. Dan aku bertanya padamu, bagaimana sebenarnya keadilan itu?” Begawan Purna Bidaran bertanya dengan nada lembut dan suara merendah. “Toh Kuning!” Begawan Bidaran menyebut namanya. ”Aku meninggalkan Ken Arok dalam keadaan hidup.” Ia menyuruh Toh Kuning untuk duduk lebih dekat. Toh Kuning beringsut maju setapak dan membenahi letak duduknya. Lalu Begawan melanjutkan, ”Ketika Mahesa Wunelang dan Mahendra serta pengawal mereka meninggalkan Alas Kawita, aku kembali ke tempat Ken Arok tergolek lemas. Sementara aku membuatmu tidak sadar diri agar mudah dirawat oleh saudaramu yang lain di padepokan.” Toh Kuning menarik napas panjang kemudian ia bertanya, ”Lalu mengapa Guru menutup kenyataan itu dariku?” (bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait