Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (19)

Senin 11-04-2022,06:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Beberapa pekan berlalu. Bulan silih berganti menampakkan bagian-bagian yang indah. Terkadang ia bersinar terang dan seluruh wajahnya terlihat jelas dari bumi. Terkadang ia seperti setandan pisang yang ranum. Wilayah bawahan Kediri merangkak maju membenahi diri. Perdagangan yang semakin meningkat telah membuat jalanan kian ramai hilir mudik orang memenuhi kebutuhan hidupnya. Puncak Arjuna yang berdampingan dengan Penanggungan terlihat gagah dan seperti menyimpan misteri besar yang belum terpecahkan. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri saat embun mulai bergulir pelan menyusur sisi dedaunan lalu menetes perlahan. Hamparan sawah yang hijau dan pematang yang tertata rapi hingga terlihat seperti barisan prajurit membentang di lereng Arjuna. Angin berhembus sedikit kencang membawa udara dingin menyeberangi lereng Arjuna. Toh Kuning yang telah sembuh dari luka dalam yang dideritanya ketika berkelahi dengan Mahesa Wunelang terlihat tekun mengikuti petunjuk gurunya. Tangannya membentuk seperti cakar harimau bergerak-gerak mantap. Setiap kali tangannya melakukan sambaran sering diikuti suara berdesing tajam. Begitu pula gerak kakinya kala menendang. Kulit sebatang pohon pun terkelupas saat angin tendangan Toh Kuning mengenainya. Sesekali ia jungkir balik di udara, bergulingan dan melayang seperti terbang sambil melepaskan pukulan jarak jauh. Setelah sinar matahari mulai menyengat kulit, Begawan Purna Bidaran menyuruhnya berhenti dan memintanya untuk duduk mendekat. Toh Kuning duduk di depan gurunya dengan kepala tunduk. Begawan Purna Bidaran membuka mata, berkata pelan dan menyejukkan,  “Toh Kuning, kau menjadi muridku sejak kecil dan aku tidak pernah melarangmu untuk menyerap ilmu dari orang lain. Mpu Pancadriya adalah salah satu orang yang sempat mengajarimu sebuah ilmu. “Dan  sampai pada usiamu sekarang ini, aku masih menganggapmu sebagai murid terbaik. Kau tidak pernah aku perintahkan keluar setelah menamatkan pelajaranmu di padepokan ini. Aku membiarkanmu untuk tetap mengembangkan diri meski kau mulai sering berjalan cukup jauh dalam waktu yang lama. Aku mengerti kau akan mengambil jalan yang sama untuk kembali pulang.” Dengan sorot mata penuh wibawa yang menggambarkan keagungan jiwa yang bersemayam dalam wadagnya, Begawan melanjutkan, ”Aku sadar jika usia akan membuatku semakin lemah. Maka, sekarang ini, aku ingin katakan padamu bahwa tubuh yang lemah bukan sebuah pesan untuk menyerah. “Sebaliknya, Ngger! “Tubuh yang lemah karena usia itu menjadi sebuah ruang yang sangat luas dan hampir tak bertepi. Mungkin, kau berpikir tentang Mahesa Wunelang yang kau anggap sebagai musuh besar serta lawan yang tangguh akan menjadi lemah karena usianya bertambah. Dan keadaan serupa sebenarnya berlaku juga padamu. Kau semakin lemah ketika usiamu bertambah.” Begawan Bidaran berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang. “Sehingga ketika saat itu tiba, kau akan merasa jika semua kekuatan, kecepatan dan ilmu yang kau miliki telah menyusut. Apabila kau tidak dapat berdamai di masa itu, maka kegelapan yang pernah kau alami pada saat bersama Ken Arok akan kembali menguasai dirimu. “Di masa lalu, kau berada dalam jajaran orang berilmu tinggi dan kau luangkan banyak waktumu untuk melakukan pekerjaan yang kau anggap benar. Aku mengikuti kalian berdua saat merampas para pedagang, aku berjalan di belakang kalian saat membagikan pada orang-orang kelaparan. Aku tahu itu semua,” berkata Begawan Bidaran. “Saya mohon ampun, Guru,” desah pelan Toh Kuning dengan rasa sesal. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ngger!” ucapan Begawan Bidaran ini mengejutkan perasaan Toh Kuning. Kemudian kata Begawan Bidaran selanjutnya,”Kalian membuatku kecewa saat berbuat yang tidak pantas, tetapi kalian juga membuatku bangga ketika kalian mengunjungi orang kelaparan. Aku ingin sekali untuk dapat membenci kalian tetapi ternyata benih kebencian itu tidak dapat berkembang. Keinginanku melihatmu dan Ken Arok menjadi lebih baik ternyata mampu memusnahkan setiap benih kebencian yang ada dalam hatiku.” “Dan,” Begawan diam untuk sesaat. Lanjutnya kemudian, ”Hari ini adalah perjumpaan kita untuk terakhir kalinya. Aku kira kau telah tuntas sepenuhnya menyerap semua pengetahuan dan wawasan yang diajarkan di padepokan ini. Kau dapat melihat puncak Arjuna.” Begawan menunjuk apa yang ia maksudkan. Ia meneruskan penjelasannya,” Puncak yang menjulang hingga menembus awan itu bukan sekedar tempat bersemayam para dewa. Ia mampu mencapai batas tertinggi yang mampu ia gapai ketika ia telah meyakini jika ia telah menyentuh bagian paling dalam.” (bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait