Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (18)

Minggu 10-04-2022,12:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Ki Gading Seta melangkah maju dan ketika berdiri berhadapan dengan Begawan Purna Bidaran, ia berkata, ”Adalah sebuah keberuntungan apabila seseorang mempunyai guru dengan ketinggian ilmu dan kedalaman hati yang sukar bandingannya.” Begawan Bidaran mengangkat tangannya lalu katanya, ”Seperti halnya dengan kalian semua. Aku pun mempunyai rasa takut dan masa-masa yang gelap.” Ki Gading Seta berpaling pada Mahendra yang kemudian berjalan dan berdiri disampingnya. Kata Mahendra, ”Sebenarnya kita semua berasal dari kelompok yang sama. Hanya saja mungkin Begawan mempunyai cara khusus dalam menggembleng murid-muridnya.” Mahendra kemudian menunjuk dengan ibu jarinya tempat Ken Arok berada. “Aku melihat semua yang terjadi di tempat ini,” kata Begawan. Ia melanjutkan sambil mengerling sesaat pada Toh Kuning yang merayap maju mendekati gurunya, ”aku mengikuti kepergian Toh Kuning yang berbalik arah sebelum ia melewati regol padepokan. Aku berada di belakang Ken Arok ketika ia melepaskan burung sebagai tanda rombongan Angger Mahendra telah melewati batas Alas Kawitan.” Begawan Bidaran menarik napas panjang. Ada semacam penyesalan yang membayang di kedua matanya. Ia berkata lirih, ”Aku menyesali kematian Ki Ranu Welang.” “Begawan, Anda pernah mengatakan bahwa kematian adalah keadilan yang tertunda, sekiranya sudi Anda urai untuk kami,” kata Mahesa Wunelang merendah. Guru Ken Arok menggeleng. “Kematian bukanlah keadilan yang tertunda jika kita mencoba melihatnya dari segi yang berbeda. Kematian akan dianggap sebagai hukuman yang adil oleh keluarga dari mereka yang pernah dibunuh olehnya. Tetapi kematian sendiri juga membawa kegelapan bagi mereka yang membunuhnya,” Begawan berujar dengan suara yang menggetarkan relung kalbu. Untuk sesaat keadaan sekitar tikungan itu menjadi hening. Begawan Bidaran kemudian dengan lantang berkata, ”Aku minta diri pada kalian. Namun sebelum itu, atas perbuatan yang dilakukan oleh kedua muridku, aku minta kalian rela memberi ampun pada mereka berdua.” Mahendra, Ki Gading Seta dan Mahesa Wunelang serta pengawal mereka tercekat mendengar ucapan Begawan Bidaran. Mereka tak percaya bahwa seseorang, yang dikabarkan mempunyai ilmu setara dengan dewa, menyatakan permintaan yang mustahil dilakukan oleh orang yang setingkat dengannya. Namun pada petang itu, mereka menjadi saksi kebesaran hati Begawan Purna Bidaran. “Sebagai panglima prajurit, saya menyatakan bahwa murid-murid Begawan adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi di tempat ini. Dan saya juga seorang senapati yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah kerajaan, maka saya menyatakan bahwa mereka berdua berhak mendapatkan perlindungan,” kata Mahesa Wunelang sambil memberi hormat pada Begawan Purna Bidaran yang telah memanggul tubuh lemas Toh Kuning. Tubuh Begawan yang agak bungkuk seolah menunjukkan bahwa Toh Kuning benar-benar menjadi beban di pundaknya, padahal tidak seperti itu.  Memanggul Toh Kuning yang jelas lebih berat bobot tubuhnya, namun seakan tidak mempunyai berat ketika Begawan menggerakkan tangan mengangkatnya tanpa menyentuh kulit Toh Kuning. Begawan menganggukkan kepala, katanya, ”Terima kasih, Ngger.” Sekejap kemudian Begawan Purna Bidaran telah lenyap dari tempatnya berdiri.  (bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait