Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Entah apa yang diomongkan Oyik terhadap cewek berjilbab (kala itu pemakai jilbab masih langka) tadi, yang jelas sejak itu dia nempel terus kepada Oyik. Bukan lagi kayak amplop dan perangko, melainkan kayak bibir dan lipstik.
Yang mengagumkan, cewek tadi, sebut saja Marisa, berhasil dipersunting Oyik sebelum pemuda ini diwisuda sebagai sarjana. Pada masa-masa akhir kuliah, Oyik memang sudah bekerja di sebuah perusahaan advertising ternama di Surabaya.
“Bukti pertama kekuatan arus lemah,” bisik Oyik ketika Memorandum menyalami dia di kursi pelaminan vs Marisa alias Risa.
Setelah itu kami jarang bertemu. Sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, ketika Oyik diterima kerja di sebuah BUMN, kabar baik itu hanya disampaikan lewat telepon.
“Ini bukti lain kekuatan arus lemah, Seb. Setelah begitu mudah mendapatkan kerja di sela-sela perkuliahan, aku tidak harus lama menyandang gelar SPeng. Sarjana pengangguran. Tidak lebih dari empat bulan setelah wisuda, aku sudah diterima di BUMN. Keren kan?” kata dia, terkesan sombong tapi sebenarnya guyon.
Tugas berat pertama Oyik setelah bekerja di BUMN adalah memasang jaringan internet di provinsi luar Jawa. Membutuhkan waktu yang tidak singkat dan harus dilakukan secepatnya.
“Jujur saja aku membutuhkan support tambahan, Seb,” katanya pada bulan keenam setelah menyelesaikan pengerjaan di dua provinsi, dan kali ini adalah proyek di provinsi ketiga. Belum di provinsi keempat, kelima, dan keenam.
“Maksud Ente?”
“Ah… Ente memang pantas dipanggil Yuli ketimbang dipanggil Yuseb.”
“Maksud Ente?”
“Aku membutuhkan energi baru yang terbarukan, Seb. Memang sudah ada satu sumber daya di Surabaya, tapi itu masih kurang. Istilah gampangnya, aku butuh di-charge, Seb. Charge yang betul-betul baru, gres, agar bisa menghasilkan power maksimal,” kata Oyik. Kali ini dengan nada serius.
“Maksud Ente?”
“Aduh!!!”
“Kenapa mengaduh?”
“Ah, sudahlah. Tunggu saja kabarnya nanti.”
Enam bulan setelah itu tidak ada kabar darinya. Kukontak HP-nya, selalu tidak aktif. Aku penasaran. Kucoba mengiriminya pesan melalui WhatsApp (WA), hanya centang satu. Ke mana Oyik?
Kucoba menghubungi Risa, istrinya, idem ditto. Tidak ada jawaban memuaskan. “Sudah lebih dari seminggu Mas Prayit tidak bisa dihubungi. Ku-WA centang satu,” kata Risa.
Baru tiga hari kemudian Oyik menghubungi. “Sudah dapat charge baru, kawan,” kata pria yang tidak pernah menampakkan wajah serius ini. Semua ditanggapinya sebagai komedi. “Dunia kan panggung sandiwara,” katanya suatu saat.
“Charge apa Yik?”
“Istri baru.” (bersambung)