Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Kehadiran Feri kecil mengguncang hati Feri. Berkali-kali dia pandang mata bocah itu. Mata yang bening, yang menyiratkan kejujuran. Mata yang belum terkotori debu-debu dosa. Akankah Feri sanggup meninggalkan bocah tersebut begitu saja, seperti dulu dia meninggalkan Kenanga?
Di sudut hatinya yang lain Feri berpikir, andai Feri kecil dia boyong ke Surabaya, bisakah istri dan anak-anaknya menerima? Bagaimana pula cara menjelaskan asal-usul bocah tersebut? Dll. Dsb. Dst…
Seperti bisa membaca isi pikiran Feri, Hamarung yang tiba-tiba muncul berkata, “Nak Feri tidak usah berpikir sejauh itu. Biarkan kami yang merawat Feri kecil di sini. Kami menganggap dia sebagai pengganti Kenanga.”
Hamarung hanya meminta, pada saatnya nanti, Feri kecil harus mengetahui dan mengenal ayah kandungnya. Nanti, saat Feri kecil sudah bisa memahami sisi-sisi kehidupan. “Saat itulah Nak Feri harus hadir di depan dia. Kalau sebelum-sebelum itu Nak Feri ingin bertemu dia, rumah kabendumi sangat terbuka,” tutur Hamarung. Pelan tapi tegas.
Yang jelas, Hamarung tidak ingin rumah tangga Feri di Surabaya berantakan gara-gara persoalan ini. “Kenanga juga pernah berharap begitu. Kalau Nak Feri sempat mengenal lebih jauh anak kami itu, kami yakin Nak Feri akan merasakan indahnya surga di dunia. Sayang...,” tutur lelaki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Ada air mata menggenang di sudut matanya.
Feri tak mengerti arti kalimat ini, tapi dia yakin bahwa Hamarung teramat sangat kehilangan Kenanga. “Kami hanya berpesan; jangan sakiti lagi anak dan istrimu, karena itu sejatinya juga menyakiti hati Kenanga di alam sana.”
Sekembalinya ke Surabaya, Feri berubah total. Dia sudah bersusaha sekuat tenaga menghindari hal-hal maksiat, terutama menyakiti para wanita. Walau begitu, naluri binatangnya yang kadang ingin mengumbar hawa nafsu tidak bisa terbendung.
“Itulah yang mengantarkan Feri menjalani ruqyah di sini,” kata Supriadi saat kami mengantarkan dia menjalani terapi di sebuah masjid besar kawasan Surabaya Selatan, baru-baru ini.
Menurut Supriadi, gangguan terhadap Feri sebenarnya tidak akan terjadi kala dia berhubungan intim dengan istrinya. Tapi begitu dia membayangkan wanita lain saat berhubugan dengan istrinya, gangguan itu selalu muncul: alat vitalnya tiba-tiba hilang dan berpindah ke tempat lain. Bahkan terkadang melayang-layang.
Tiba-tiba kami dipanggil ustaz yang me-ruqyah Feri. Sambil memegang kepala Feri, dia berbicara kepada kami semua. “Jin yang bersemayam di tubuh Pak Feri sangat kuat. Hanya iman yang bisa mengimbanginya,” kata ustaz muda berjenggot rapi tersebut.
Ustaz tadi menjelaskan, Feri sama sekali tidak boleh berbuat maksiat dalam bentuk apa pun, terutama zina. Sekadar zina pikiran pun tidak diperkenankan. “Kami berharap Bapak-Bapak turut menjaga Pak Feri. Sebab, maaf Pak Feri (sambil manatap mata Feri, red) Bapak sangat lemah menghadapi godaan yang satu ini. Harus ada yang mengingatkan.”
Setelah itu kami diperkenankan pulang. Feri terlihat pucat. Pandangan matanya kosong. Langkahnya gontai. Beberapa kali candaan teman-teman tidak dia tanggapi. Dia seperti hidup sendiri di tengah keramaian. (habis)