Sejarah Balai Pemuda Dikaburkan, Dewan: Wali Kota Dituturi Tidak Bisa

Kamis 20-01-2022,20:51 WIB
Reporter : Ferry Ardi Setiawan
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Surabaya, memorandum.co.id - Kendati mendapat penolakan dari para pegiat sejarah dan legislatif, Pemkot Surabaya keukeuh mempertahankan nama Alun-Alun Surabaya di kompleks yang sebelumnya bernama Balai Pemuda. Menurut AH Thony, Wakil Ketua DPRD Surabaya, semestinya pemkot harus berpegang teguh pada sejarah. Apalagi Balai Pemuda memiliki nilai historis kepahlawanan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 1945. “Orang bilang apalah arti sebuah nama, tapi di sisi lain orang bilang nama itu mencerminkan masa lalunya. Kenapa dinamakan Sari, karena dia lahir di satu Januari. Begitu pun kompleks Balai Pemuda, gedung yang menjadi saksi perjuangan pemuda Surabaya. Seharusnya kompleks tersebut tetap bernama Balai Pemuda, alih-alih Alun-Alun Surabaya,” katanya, Kamis (20/1/2022). Sehingga, manakala pemkot bersikukuh dengan Alun-Alun Surabaya, Thony tak mempermasalahkan. Yang terpenting bagi dia, tugas untuk mengingatkan telah tersampaikan. Tanggung jawab moral pun sudah dijalankan. Tinggal bagaimana nantinya alam yang akan berbicara. Penamaan itu tepat, atau justru tak diterima oleh masyarakat Surabaya. Terlebih, Kota Pahlawan memiliki intelektual yang melimpah. Mahasiswa yang tak sedikit. Sejarawan dan budayawan yang sangat kritis dan mencintai sejarahnya. “Ketika ada orang yang kita pandang keliru, kita pandang kurang tepat, ya kita ingatkan. Kemudian kalau masih belum, ya kita ingatkan lagi. Tetapi kita ingatkan kembali namun kok masih diteruskan, ya sudah kita biarkan dulu, kita doakan mudah-mudahan dapat hidayah, tentang arti pentingnya sejarah. Jas merah tadi,” tegasnya. Menurutnya, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bukan tak mengerti sejarah. Eri tentu paham sejarah. Karena itu duduk sebagai orang nomor satu di Surabaya. Jelas punya kemampuan linguistik yang baik. Hanya saja ketika pasangan hidup Rini Indriyani itu diingatkan, malah diabaikan. “Katanya nama itu doa, nama itu memiliki makna, nah kalau memberi nama saja sudah keliru, lalu bagaimana dengan mengurus yang lainnya. Kita khawatir akan muncul penilaian yang seperti itu di kalangan masyarakat luas. Karena itu kita kandani, kita tuturi, tetapi tidak bisa, ya sudah,” tandas Dewan Penasihat Fraksi Gerindra ini. Sementara itu, pegiat cagar budaya dan sejarah Kuncarsono Prasetyo tetap menginginkan agar kompleks gedung yang berada di Jalan Gubernur Suryo-Jalan Yos Sudarso itu bernama gedung Balai Pemuda, bukan Alun-Alun Surabaya. “Kita berharap pemkot membuka ruang diskusi lah dengan akademisi yang kemarin membuat webinar Masyarakat Sejarawan Indonesia Jatim. Jangan menutup diri gitu, nggak baik,” tuturnya. Terkait dengan keteguhan pemkot memberi nama Alun-Alun Surabaya, pihaknya mengembalikan itu ke warga Surabaya. “Biar warga kota yang menilai. Soal audiensi dengan pemkot, kita masih nunggu jawaban suratnya Masyarakat Sejarawan Indonesia Jatim (disetujui dan dibalas pemkot),” tuntas mantan jurnalis ini. Sedangkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, bahwa itu sudah menjadi trademark-nya Surabaya dan akan dipertahankan. “Meskipun ada (beberapa pemikiran sejarahwan, red) kita akan komunikasikan. Biasanya kan ada yang ngomong (bicara, red), alun-alun itu nang ngarep (di depannya, red) masjid,” ujar Eri, Kamis (20/1/2022). Tambahnya, bahwa alun-alun di Surabaya itu tidak ada. Sebab, yang alun-alun itu sebenarnya ada di depannya Masjid Jami’,  kantor pemerintah. “Berarti apa, pakai nama alun-alun pun tidak apa-apa sakjane (seharusnya, red). Sebenarnya ini harus saling melengkapi,” tambahnya. Lanjutnya, kan ada yang ngomong (bicara), ojoklah (janganlah), itu semua harus saling melengkapi. “Insya Allah tidak apa-apa,” pungkas Eri. (bin/fer)

Tags :
Kategori :

Terkait