Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Feri sempat mendaftarkan diri menjadi partisipan acara RB. Namun seiring waktu perjalanan waktu, rencana tersebut dibatalkan. Feri ragu. Acara tersebut akan ditayangkan secara luas, dia khawatir jangan-jangan ada keluarga yang mengenal walau dia memakai masker.
Yang menyebabkan Feri malu adalah cerita di balik kenyataan mengapa guna-guna itu ditujukan kepadanya. Begini ceritanya: Feri kan harus tinggal lebih dari enam bulan untuk menjalankan tugas dinas di Kapuas.
Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sendirian. Walau begitu dia tak mungkin kesepian, karena rumah yang dia tempati berada di sebuah perkampungan yang cukup banyak penduduknya.
Selain warga lokal, mereka berasal dari banyak daerah dari seluruh Indonesia. Tapi, yang bikin Feri kerasan adalah rumah di samping kontrakannya dihuni warga lokal dan masih tradisional banget.
Di rumah tersebut ada seorang gadis cantik yang baru lepas dari masa remaja. Namanya sebut saja Kenanga. Kulitnya putih bersih. Dia asli dari Suku Dayak Ngaju.
Feri terpikat gadis itu. Dan untungnya tak bertepuk sebelah tangan, Kenanga juga menampakkan tanda-tanda ketertarikan kepada Feri. Hubungan mereka pun jadi akrab.
Sifat playboy Feri akhirnya muncul. Dia terang-terangan memperlihatkan ketertarikan secara vulgar, meski masih mampu menjaga kesopanan dan adat ketimuran.
Hanya, naluri Feri sebagai playboy menuntun dia untuk tidak menceritakan bahwa dia sudah berkeluarga. Feri bahkan terang-terangan berbohong dan mengaku dirinya masih jomblo. Terutama kepada Kenanga.
Feri yang pada masa awal kedatangannya bersemangat memajang foto-foto mesra vs istri dan anak-anaknya yang masih kecil, tak lama setelah itu mulai menurunkan foto-foto tadi dan menyimpannya di dalam kopor.
Dalam hati kecil tersimpan kekhawatiran: andai tahu dirinya sudah berkeluarga, Kenanga pasti akan menjauhinya. Itu yang tidak dia kehendaki. Feri tidak ingin kebersamaan yang tercipta ketika Kenanga sekadar bermain-main ke kontrakannya, atau sebalikya, Feri jagongan di rumah keluarga Kenanga, hilang begitu saja.
“Setiap Feri jagongan dengan kakak, bapak, atau kakek Kenanga di rumah mereka, gadis tersebut selalu bergabung,” cerita Supriadi.
Jangankan dekat dengan Kenanga, memandangnya saja sudah menjadi semacam vitamin penambah semangat buat Feri. Hubungan Feri dengan keluarga Kenanga semakin lama semakin akrab.
Kenanga diberi kebebasan keluar-masuk kontrakan Feri. Sebaliknya, Feri juga bebas blang-blung di rumah keluarga Kenanga. Itu berlangsung enam bulan, hingga Feri harus bersiap-siap pulang balik ke Surabaya.
“Feri merasa bersyukur sampai menjelang pulang itu, dia sanggup menahan diri untuk tidak berbuat kebablasan terhadap Kenanga meski hasrat untuk itu selalu berkecamuk di benak dia,” kata Supriadi.
Pada malam terakhir Feri di Kapuas, ia mengadakan pesta kecil. Feri mengundang keluarga Kenanga makan malam bersama. Selesai santap malam, waktu diisi dengan bernyanyi bersama. Hingga larut malam.
Satu per satu anggota akhirnya keluarga Kenanga pamit pulang. Yang tinggal hanya sepi. Feri pun menutup pintu rumah. Tanpa diduga, tubuh Feri didekap dari belakang. Lembut sekali. Refleks Feri memegang tangan yang melingkari pinggangnya.
Pelan-pelan Feri menoleh. Secercah senyum mengembang di depannya. Milik seorang gadis. Cantik. Putih bersih. Feri tertegun. Pelan-pelan dia membalikkan tubuh.
Feri kaget. Dia tidak menyangka Kenanga masih tinggal di rumah kontrakannya, sementara keluarganya sudah pada pulang. Dan, kini gadis itu sedang erat-erat memeluk tubuhnya. (bersambung)