Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Di tengah pekan ini, tepatnya Rabu dan Kamis (25-26 September 2019), demo mahasiswa terjadi hampir di semua kota besar negeri ini.
Di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, dan lain-lain, terlihat arak-arakan anak bangsa. Mereka tampil dengan warna baju berbeda. Sesuai dengan warna baju kebanggaan almamater kampusnya masing-masing. Ada kuning, ada merah, ada biru, ada hijau, ada cokelat, ada ungu. Dan masih banyak warna lagi.
Meski begitu, gerakan mereka satu. Mereka semua datang menyerbu gedung-gedung dewan yang ada di kotanya masing-masing. Mereka mengaku menyuarakan aspirasi rakyat. Atau boleh dibilang mereka mengumandangkan keresahan rakyat pasca muncul beberapa rancangan undang-undang yang bermasalah.
Tegasnya! mereka menolak (bukan menunda) beberapa rancangan undang-undang yang dibuat oleh Anggota DPR RI. Di antaranya, RUU KUHP, RUU KPK, dan RUU Pertanahan. Apalagi pengesahan beberapa RUU itu dilakukan Anggota DPR RI di akhir masa jabatannya hingga mengundang kecurigaan.
Dan yang paling nyata (baca: puncak kemarahan), mereka (mahasiswa) dengan tegas dan berani menyatakan mosi tidak percaya kepada wakil rakyat. Pernyataan yang disampaikan di hadapan Anggota DPR RI itu menjadi viral di media sosial.
Bagi mereka (mahasiswa), gerakan yang dilakukan untuk melawan pengganggu reformasi. Mereka mengklaim gerakan mahasiswa dilakukan untuk menuntaskan era reformasi yang akhir-akhir ini terlihat mulai dibelokkan oleh satu kelompok tertentu.
Tapi, apa benar gerakan mahasiswa kali ini tidak ditunggangi kelompok tertentu? Jawabnya tentu ada di berbagai sisi. Bisa iya, bisa tidak. Yang tahu tentu mereka sendiri. Tapi, melihat jumlah mahasiwa yang hadir di demo dua hari itu, sebuah keniscayaan kalau mahasiswa memiliki cukup dana untuk menggelar demo dengan skala nasional.
Terlepas dari pemikiran ada kelompok tertentu membiayai demo atau tidak, substansi demo kali ini menjadi pertanyaan besar.
Pertama, apakah demo didesign satu kelompok tertentu untuk menutup isu keributan Papua dan Papua Barat karena pada kasus ini sempat mengganggu privasi Indonesia di mata dunia internasional?
Kedua, demo mahasiswa digebyar oleh kelompok lain agar dinilai mengganggu negara yang sekitar beberapa pekan lagi melakukan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih?
Ketiga, mengopinikan demo mahasiswa benar-benar dilakukan oleh anak bangsa yang belum terkontaminasi politik uang, hingga rakyat dibuat lupa atas keinginan pemerintah memindahkan ibu kota yang sempat dilawan dan dipersoalkan oleh kelompok rakyat yang menentang?
Keempat, demo mahasiswa ini diskenario oleh kelompok tertentu untuk memberi sinyal atas ketidakpuasan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden yang belum lama ini digelar?
Kelima, demo mahasiswa pada September tahun ini memberi gambaran jelas dan tegas Indonesia tidak aman hingga dapat mengganggu nilai investasi terhadap dunia bisnis di mata internasional?
Berbagai jawaban tidak akan ditemukan dalam waktu dekat. Suasana keheningan negara tiba-tiba meledak menyeruak ke permukaan tanpa ada isyarat. Yang jelas, penanganan demo harus dilakukan dengan sistematis dan tidak represif. Salah menangani, tanpa rasa segan dan sungkan rakyat pasti melawan dengan gagah berani, dan dilakukan secara terstruktur dan masif.(*)