Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Suatu hari, setelah terlibat pertengkaran besar-besaran dengan istri, Kamat berjalan tak tentu arah sampai ke gerbang perumahan. Ia mendekati rombong bakso dan duduk di bangku kecil yang disediakan si abang bakso.
Kamat memindahkan pentolan-pentolan bakso dari mangkuk di tangan kirinya ke mulut tanpa merasakan panas-dinginnya kuah. Tanpa merasakan pedasnya sambal. Bahkan tanpa menyadari kehadiran seorang perempuan yang dia kenal.
“Assalamualaikum,” sapa perempuan itu. Kamat bergeming. Tidak menoleh, apalagi menjawab.
“Assalamualaikum, Pak Kamat,” kata perempuan itu mengulangi sapaannya. Kamat masih belum merespons. Dia menyendok pentol bakso terakhir dari mangkuknya dan hendak memasukkan ke mulut.
“Pak, disapa Bu Yuli ini lho,” kata penjual bakso sambil menepuk pundak Kamat. Gragap… Kamat terkejut. Tangannya bergerak tak terkontrol hingga sendok berisi pentol tadi menyenggol dagunya dan terjatuh.
“Maaf,” katanya sambil memandang Bu Yuli lekat-lekat. “Monggo pinarak Bu,” tambahnya sambil bergeser, menyisakan jatah tempat duduk untuk satu orang di bangku kecil yang didudukinya.
Pulang dari tukang bakso, mereka berjalan kaki pulang. Berduaan. Tempat tinggal mereka memang searah. Cuma, rumah Kamat lebih jauh ke dalam, sedangkan rumah dan tempat usaha Bu Yuli hanya berjarak beberapa langkah dari gerbang.
Sesampai di depan rumahnya, Bu Yuli memersilakan Kamat mampir. Mungkin sekadar iseng, tapi di telinga Kamat ini seperti kesempatan yang sudah lama dia nanti-nantikan.
Mereka ngobrol di ruang depan, yang sengaja didesain terbuka untuk menerima para pelanggan laundry. Bu Yuli menemani ngobrol Kamat sambil memersiapkan segala sesuatu untuk menerima kedatangan pelanggan.
Setelah obrolan ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, sampailah pembicaraan pada masa kecil mereka. Kamat menceritakan masa kecilnya di Trenggalek dan menyelipkan kepingan-kepingan kenangan indah bersama sahabatnya yang bernama Hapsa.
Mendengar nama ini, Bu Yuli spontan menghentikan aktivitasnya. Dengan ragu-ragu dia menoleh dan menatap mata Kamat. Perempuan tersebut lantas tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Akulah Hapsa itu.” Mereka berjabat tangan. “Akulah yang selalu erat memegang lengan njenengan setiap menyeberangi sungai itu,” tambahnya.
“Kok Bu Yuli?” tanya Kamat.
“Yuli adalah nama almarhum suamiku. Mas Yulianto meninggal lima tahun lalu karena serangan jantung,” tutur Bu Yuli eh Hapsa, yang menambahkan bahwa mereka sempat dikaruniai seorang anak perempuan, yang menyusul sang ayah setelah didera kanker payudara, empat bulan lalu.
Hapsa mengaku terpaksa pindah ke rumah yang lebih kecil karena sudah tidak ada siapa-siapa yang menemaninya. Ayah dan ibunya sudah kapundut bertahun-tahun lalu di Trenggalek.
Rumah lamanya di kawasan Darmo Satelit dia jual karena terlalu repot harus merawat rumah yang luasnya hampir 20 kali lapangan voli itu.
“Kali pertama kita bertemu, aku sempat berpikir: aku kok tidak asing ya dengan orang ini?” kata Hapsa.
“Aku juga. Tapi, kok masih muda?” sahut Kamat, yang disambut senyum manis Hapsa. (bersambung)