Oleh:Yuli Setyo Budi, Surabaya
Kamat (51, bukan nama sebenarnya) kaget ketika mengantarkan pakaian kotor ke tempat laundry baru di ruko kompleks perumahannya. Ia merasa sangat mengenal perempuan yang menerima tas kreseknya. Lamat-lamat.
Cantik, hanya sudah tergerus umur. Tanda-tanda itu tampak dari garis wajah dan sorot matanya. Kamat juga merasa bahwa perempuan tersebut kaget melihatnya lekat, tapi segera memalingkan wajah.
Tatap wajah pertama itu terus membayangi benak Kamat, yang penasaran ingin menjawab: benarkah dia memang pernah mengenalnya? Tetapi Kapan? Di mana?
Pada pertemuan kedua dan ketiga, Kamat masih menyimpan misteri itu. Belum ada kesempatan untuk berbincang. Kamat akui, meski baru, rupanya laundry tersebut memiliki banyak pelanggan (atau calon pelanggan karena baru buka?).
Perempuan yang usianya kira-kira 10 tahun di bawah Kamat itu dengan ramah melayani setiap yang datang. “Aku tahu dia sedikit-sedikit mencuri pandang ke arahku. Mungkin merasa kalau aku terus memerhatikannya,” kata Kamat di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, medio pekan lalu.
Kalau melihat nama yang tertera di nota pembayaran, Kamat menduga perempuan tadi adalah teman sekolahnya semasa SD dulu: Hapsa Agustin. Seingat Kamat, belum pernah ada nama seperti itu yang dia jumpai, selain gadis kecil, manis, dan imut temannya SD.
Kamat selalu ingat nama Hapsa, karena kepadanyalah cinta pertama Kamat ditambatkan, walau tidak pernah terucap. Sampai sekarang, karena selepas SD mereka harus berpisah. Hapsa harus pindah ke luar Jawa mengikuti ayahnya yang dipindah tugas mengepalai kantor cabang di sana.
Sejak itu, setiap mengenal perempuan, Kamat selalu membanding-bandingkannya dengan Hapsa. Tentu Hapsa sewaktu kecil. Hapsa yang manis dan imut. Yang selalu tersenyum bila disapa dan menangis setiap digoda.
“Senyum itulah yang tidak bisa aku lupakan,” kenang Kamat, yang menambahkan bahwa perempuan di tempat laundry itu sangat mirip dengan senyum Hapsa. “Mungkinkah itu memang dia? Pikiran itu terus menyiksa aku.”
Baru pada pengiriman pakaian kotor yang ketujuh atau kadelapan, Kamat bisa sedikit omong-omong. Perempuan itu memerkenalkan diri sebagai Bu Yuli. Wus… Kamat sampai lupa mengucapkan nama ketika bersalaman, karena terburu kecewa.
Kecewa lantaran perempuan yang dikira—dan diharapkan—sebagai Hapsa itu ternyata bernama Yuli. Bu Yuli. Nama ini giliran mengiang-ngiang di benaknya, silih berganti dengan nama Hapsa, gadis cilik cinta pertamanya yang manis dan imut. Yang suka memegang erat tangannya sewaktu menyeberangi sungai tanpa jembatan di pelosok pedesaan Trenggalek, berpuluh tahun lalu.
Kamat, yang di rumah hidup di bawah pengaruh istri, jadi sensitif. Jadi suka marah-marah. Ini berimbas pada istrinya yang ikut-ikutan jadi pemarah. Dampaknya kembali kepada Kamat: jadi pelampisan kemarahan istrinya.
“Aku semakin tidak kerasan berada di rumah. Sudah tidak ada anak, istri kerjanya hanya marah, marah, dan marah. Mentang-mentang sudah pensiun, aku dijadikan sampah di rumah sendiri. Disuruh-suruh dan disalah-salahkan,” kata Kamat tiba-tiba, berubah arah seperti orang curhat. Memorandum yang mendengarkan jadi semakin tertarik terhadap curhatan Kamat.
Lelaki yang kini bekerja sebagai karyawan kontrak sebuah perusahaan cetak ini mengaku memang hanya berpenghasilan pas-pasan. “Yang aku kecewakan, istri selalu mengancam minta cerai setiap kami bertengkar,” tutur Kamat. (bersambung)