Gadis Desa di Sarang Penyamun (1)

Senin 13-12-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Diajak Kerja ke Surabaya

Jangan lihat Mike (samaran) dulu. Kenalilah Mike sekarang: seorang ibu rumah tangga yang sedang tersiksa. Sedang menderita dan butuh uluran tangan. Mike takut dan khawatir tidak kuat, lantas terjerumus ke dunia gelap yang sempat dilakoninya. “Mudah-mudahan setelah pisah dari Toni (bukan nama asli, red) aku bisa menemukan pria yang benar-benar bisa menjadi imam,” kata Mike kepada pengacara, sebut saja Ikin, di kantornya dekat Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Dulu, Mike muda adalah gadis lugu yang tinggal di pelosok pedesaan Jawa Timur. Kondisi ekonomi menyebabkan dia harus mengorbankan pendidikannya dan ikut kerja tetangga di Surabaya. Tetangga itu berusia empat tahun lebih tua. Ngakunya bekerja di kafe, semacam warung di daerah asal Mike, tetapi khusus menyediakan makanan dan minuman orang-orang kaya. Pengunjung dihibur alunan musik. “Bayanganku dulu, di tempat itu ada pemain elekton dan penyanyi,” kenang Mike, yang menggambarkan penampilan temannya itu jauh berbeda dibanding saat hidup di desa. Kini perhiasannya banyak dan dandannnya selalu mirip orang kondangan. Seperti orang-orang kaya di desa atau kaum priyayi. Karena itu, ketika temannya tersebut, sebut saja Jemblok, pulang kampung pada suatu Lebaran, Mike tidak bisa menolak ketika diajak bergabung bekerja di Kota Pahlawan. “Kerjanya enak, duitnya banyak,” begitu promo Jemblok. Sukan sekali saja ajakan itu dilontarkan kepada Mike. Sudah lebih dari tiga kali. Tapi, Mike selalu dicegah orang tuanya. Dan, dulu, selalu sendiko dawuh. Kali ini pun sebenarnya orang tua tetap mencegah, namun Mike nekat mberot. Dia berangkat tanpa izin. “Apalagi, waktu itu temanku mengaku sanggup menanggung keperluanku selama belum mendapatkan bayaran,” imbuh Mike. Sesampai di Surabaya waktu sudah malam dan Mike diajak langsung bergabung di tempat kerja Jemblok. Tempatnya kecil tapi hingar bingar. Lampu warna-warni menghiasi hampir seluruh sudut ruang. Mike diminta duduk di kursi sudut, sementara Jemblok langsung menghilang ditelan temaram. Mike sempat bergidik ngeri. “Tempat apa ini? Begini toh kafe itu?” batin Mike sambil memerhatikan seluruh penjuru. Orang-orang tidak ada yang menghiraukan kehadirannya. Cuek, tenggelam dalam dunia masing-masing. Sekitar setengah jam berlalu, ada seorang lelaki mendatanginya. Usianya sekitar 40 tahun. Sebenarnya gagah, tapi penampilannya agak-agak goyah. Mirip Wak Man, tetangga di desa yang doyan minum toak. “Masa tempat seperti ini juga menjual toak?” kembali Mike membatin. Lelaki itu memperkenalkan diri bernama Sampuri. Panggilan Om Puri. Gayanya kayak Heri Brengos, tuan tanah kaya raya di desa Mike. Istrinya tiga dan semuanya cantik-cantik. Bahkan, kabarnya satu di antaranya berasal dari Surabaya. Sambil berbicang-bincang ringan, ngalor-ngidul tanpa arah, Puri menawarkan minuman. Mike mencicipinya. Enak. Manis. Tidak mirip toak seperti yang pernah dia cicipi di warung Mak Ten. Pengar. Yang ini baunya harum. (jos, bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait