Surabaya, memorandum.co.id - Aktivis Surabaya asal Wonocolo Ning Lia Istifhama menuturkan, pelaksanaan sekolah daring (online) yang digulirkan sejak Maret 2020, nyatanya menimbulkan rasa rindu yang besar pada sekolah tatap muka. Menurutnya, sekolah sejatinya dilaksanakan melalui institusi pendidikan, bukan terus menerus daring melalui jejaring digital. “Saya sangat sepakat dengan Pak Nadiem Makarim, mendikbud milenial, yang menyampaikan kekhawatiran terjadinya learning loss. Dalam hal ini, sekolah sebagai proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan dengan proses dampingan langsung oleh guru. Sekolah dalam konteks tersebut, sangat dibutuhkan untuk anak tingkat SD," jelas Ning Lia, Senin (8/11/2021). Lebih jauh dia menandaskan, rasa lelah dan rindu dengan sekolah daring janganlah dinilai sebagai isapan jempol belaka. Sebagai seorang ibu, Ning Lia merasakan itu. “Taruhlah saya seorang ibu rumah tangga, yang memiliki doa dan harapan agar anak-anak tumbuh dengan lingkungan sebayanya, dan kemudian belajar bersama dengan teman-temannya dan didampingi guru setiap harinya. Mereka akan belajar tata krama dan kesungguhan belajar. Itu semua tidaklah mudah jika penerapannya lebih tergantung pada peran orang tua saja," tandasnya. “Dalam sekolah, ada guru di setiap pelajaran. Dalam sekolah juga, anak-anak dipertemukan teman-teman untuk bermain dan belajar bersama. Monggo dipikir logika saja ya, apa bisa semua peran guru sekian pelajaran dan keberadaan teman-teman sebaya tergantikan oleh orang tua saja? Sedangkan banyak orang tua, terutama di perkotaan, yang harus bekerja dalam waktu panjang setiap harinya," sambung Ning Lia. Kendati demikian, Ning Lia mengaku tak bermaksud menyalahkan kebijakan pemerintah di daerah, melainkan berharap agar suara seorang ibu didengar dan diambil secara bijak. “Setiap kebijakan memang memperhatikan keselamatan jiwa warganya. Namun, harus diperhatikan juga keselamatan akal dan moral, terutama direlevansikan pada perkembangan aspek motorik dan kognitif anak-anak yang seharusnya bersentuhan dengan literasi, bukan semata digitalisasi. Digital atau gadget jika tidak memiliki dasar sebagai penguatan literasi, apa bisa diandalkan sebagai pondasi pembelajaran?" cetus Ketua I STAI Taruna Surabaya ini. “Saya tidak menyalahkan siapapun, saya hanya ingin suara hati seorang ibu didengar oleh mereka para pemangku kebijakan. Semoga kita semua sama-sama berpikir menjaga kelangsungan moral dan ilmu anak-anak bangsa ini,” pungkasnya. (mg-3/fer)
Aktivis Surabaya: Sekolah Tatap Muka Sangat Dibutuhkan Anak SD
Senin 08-11-2021,18:36 WIB
Editor : Ferry Ardi Setiawan
Kategori :