Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Usai acara, rombongan Kiai Azis diberi berkat dan oleh-oleh dalam jumlah cukup banyak. Ada buah-buahan dan hasil kebun, ada sembako, makanan dan kue-kue. Berlimpah.
Mobil pun meninggalkan tempat acara. Kalau penjemputan tadi dilakukan tujuh orang, kini pengantaran pulang Kiai cuma dilakukan dua orang. Memorandum dan seorang teman—yang dalam perjalanan waktu sempat menjadi anggota dewan, kini sudah meninggal. Semoga arwahnya diterima di sisi Yang Mahakuasa. Nani masih bersama kami.
Begitu sohibul hajat melepas kami, tidak terduga, tangis Nani pecah. Tersedu. Sangat keras. “Kenapa?” tanya Kiai Azis sambil mengoper persneling.
“Saya malu Kiai. Saya tadi diperlakukan sangat terhormat oleh jemaah dan tuan rumah. Mereka tidak tahu kalau saya orang yang bejat. Sangat bejat. Andai mereka tahu,” kata Nani sesenggukan.
“Lantas kenapa?” kejar Kiai Azis.
“Aku malu Kiai. Malu kepada diri saya sendiri. Malu pada Kiai. Malu pada orang-orang tadi,” tuturnya.
“Tidak malu sama Allah?”
“Saya takut menyebut namanya, Kiai. Nada bicaranya mulai lirih. Nyaris tak terdengar, Aku juga takut kematian dan takut hidup sesudah mati.”
Suasana di dalam mobil menjadi sangat sepi. Tampaknya Kiai Azis sengaja memberikan kesempatan kepada Nani untuk mengeluarkan isi hati. “Saya mau tobat, Kiai.”
“Bagus itu. Siapa namamu?”
“Nani, Kiai. Suharnani.”
“Namamu juga bagus. Di mana rumahmu?” Nani lantas menyebutkan sebuah nama desa di perbatasan Bojonegoro-Tuban.
“Kami antar kamu sampai rumah.”
“Tapi Kiai?”
“Ndak apa-apa. Lagi pula untuk siapa oleh-oleh dan berkat sebanyak ini?”
“Maksud Kiai?”
Kiai Azis tidak menjawab. Dia hanya menanyakan arah menuju rumah Nani dan mengikuti petunjuk tersebut. Hampir setengah jam kemudian mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Gelap dan sepi.
“Kamu tinggal dengan siapa?”
“Dengan Ibu dan empat adik. Juga satu anak saya. Bapak sudah meninggal.”
“Suami?”
“Kabur setelah tahu anak kami lahir tidak sempurna.”
Semua oleh-oleh dari keluarga pemilik hajat diturunkan. Kami semua ikut turun. Setelah sudah beres, kami berpamitan pulang. Nani meraih tangan Kiai Azis dan hendak menciumnya. Namun segera ditarik. “Saya akan tobat Kiai. Tidak akan melakukan hal yang salah lagi,” kata Nani. Tangisnya kembali pecah.
Kiai Azis tersenyum. Merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Amplop honornya bertausiah tadi. Diberikan kepada Nani. Ditambah satu amplop yang diambilkan dari tas punggung yang ditaruh di bawah jok sopir. (habis)