Hyde Park

Rabu 04-09-2019,08:58 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Saya pikir ‘Hyde Park’ sudah mati. Sudah kehilangan relevansi. Sudah kalah dengan medsos. Ternyata masih hidup. Yang berpidato di situ masih semangat. Yang berdebat juga masih seru. Itulah mimbar demokrasi tertua di dunia. Sejak 1863. Orang boleh ngomong apa saja. Tidak perlu khawatir ditangkap penguasa. Saya ke Hyde Park hari Minggu siang lalu. Masih terlalu pagi. Pertunjukan debat di taman itu baru dimulai jam 13.00. Saya pun memanfaatkan waktu ke Harrods. Yang letaknya hanya selemparan batu dari salah satu sudut Hyde Park. Sekedar bernostalgia. Ketika belum ada mal modern Harrods sudah terkenal. Jadi ikon Kota London. Idaman belanjawan-belanjawati. Kata mereka: belum ke London kalau belum ke Harrods. Itulah mal milik almarhum Dodi Al Fayed --pacar mendiang Putri ‘Lady Di’ Diana itu. Saya pikir Harrods sudah kehilangan relevansinya. Sudah kalah dengan tempat belanja online. Ternyata masih hidup. Dan masih jadi ikon. Manusia penuh berdiri di pelataran plaza depan Harrods. Menunggu pintu mal dibuka. Semua manusia. (Manusia=wanita). Belum pernah saya melihat seperti itu. Begitu banyak yang antre. Termasuk banyak yang berwajah Arab. Atau Tionghoa. Saya perhatikan pengumuman dari sound system: ups, dalam bahasa Mandarin. Lalu dalam bahasa Arab. All about money. Begitu gerbang Harrods dibuka, mal itu begitu ramainya. Seperti masuk stadion Chelsea. Seperti tidak tergerus modernisasi teknologi informasi. Di Harrods saya menyaksikan semangat yang membara: semangat wanita berbelanja. Hermes, Chanel, dan sebangsanya. Saya pun ingat istri saya. Tapi tidak jadi beli. Tas yang dulu saya belikan di Paris tidak pernah dipakai. Di Harrods saya hanya numpang ke toiletnya. Lalu balik ke Hyde Park. Yang begitu luas. Taman ini luasnya 1,4 juta meter persegi. Pohonnya besar-besar. Rindang. Ada danau kecil di tengahnya. Saya harus jalan kaki melintasi taman itu: ke sisi sebelah sana. Menapaki sela-sela pohon. Yang daunnya sudah banyak yang rontok. Menjadi seperti lautan daun di atas rumput. Saya hitung jarak yang harus saya tempuh --1,4 kilometer. Saya harus berhenti di tengah. Duduk di atas rumput. Di bawah pepohonan. Yang guguran daunnya mulai banyak. Di situ saya menulis bagian pertama naskah DI's Way yang lagi Anda baca ini. Benar-benar luas taman ini. Pantas kalau dulunya tempat berburu keluarga kerajaan. Ketika taman itu masih berupa hutan. Lokasinya memang hanya satu lemparan Hulk dari Istana Buckingham. Akhirnya saya tiba di sisi lain Hyde Park. Di satu pojok yang disebut Speakers Corner. Di situlah mimbar demokrasi tersebut. Dari jauh sudah terlihat. Banyak orang bergerombol. Yang berpidato ternyata tidak hanya satu. Saya hitung: sembilan orang. Ada yang berdiri di atas kursi. Ada pula yang sengaja membawa pijakan kaki. Tidak ada yang memakai pengeras suara. Dilarang. Saya pun mendekati orang yang berpidato itu. Pindah-pindah. Saya ingin tahu apa saja yang dipidatokan. Yang memakai topi cowboy itu ternyata pendeta. Ia ceramah agama. Yang mendengarkan lima orang. Datang pergi. Di sebelahnya ada yang berpidato tentang politik. Tidak setuju Brexit. Sesekali ada yang mencoba mendebat. Tapi ia terus berpidato. Ada juga yang berpidato tentang supremasi laki-laki. Yang mendengarkan 6 orang. Empat di antaranya wanita muda. Di sebelahnya lagi orang berpidato tentang evolusi. Ia menentang teori Darwin. Ups, di sebelah sana ada yang pakai jubah Arab. Warna coklat. Lengkap dengan igal penutup kepala. Saya pikir ia juru dakwah Islam. Setelah dekat saya kaget: tangannya memegang Bible. Yang sesekali ia buka dan baca isinya. Di depan pria berjubah Arab itu terlihat laki-laki berkalung salib. Mereka berdua lagi berdebat seru. Debat tentang Tuhan. Ternyata yang berjubah Arab itu beragama Islam. Bahwa tangannya memegang Bible itu ia pakai untuk bahan debat. “Anda Islam, mengapa membawa Bible?” tanya saya. “Saya bertahun-tahun mendalami Bible,” jawabnya. Namanya Zakaria. Berkulit hitam. Warga Inggris. Asal Jamaica. Yang berkalung salib itu beragama Kristen. Warga negara Inggris. Asal Kurdistan. Antara Iraq dan Turki. Namanya Husein. Saya ikuti perdebatan dua orang ini. Seru sekali. Tentang Trinitas. Tentang Paskah. Tentang hari kebangkitan. Saya lihat sama-sama menguasai Bible. “Kamu ini mengerti Bible tapi tidak mau mengerti,” ujar si Kalung Salib. Saya lihat tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing berpegang pada imannya. Lalu datang anak muda. Tinggi. Kepalanya botak. Ia menjawil si Kalung Salib. Ganti anak muda itu yang mengajaknya debat. Juga soal Trinity. Ia keluarkan map tebal. Yang berisi kutipan ayat-ayat dalam Bible. Debat ini juga tidak ada ujungnya. “Anda beragama apa?” tanya saya pada anak muda itu. “Saya tidak beragama,” katanya. “Saya ini penganut Israeliti,” tambahnya. “Berarti Anda beragama Yahudi?” tanya saya lagi. “Tidak. Saya Israeliti,” tegasnya. Israeliti adalah agama tua. Yang penganutnya banyak di Kanaan. Israeliti dianut oleh orang yang merasa keturunan langsung Jacob --cucu Abraham. (Nabi Yakub, cucu Nabi Ibrahim). Jacob juga punya nama lain: Israel. Agama ini menganggap Yahudi itu sesat. Bid’ah. Terbelah menjadi 12 suku. Tidak sesuai dengan perjanjian lama (Taurat). Ketika perdebatan soal Tuhan ini memuncak, si Israeliti cari teman. “Papa Muslim,” panggilnya pada seseorang yang baru selesai debat. Yang disebut Papa Muslim mendekat. Si Papa Muslim ini kelihatannya juga menguasai Bible. Dijadikan rujukan oleh si Israeliti. “Anda asli mana,” tanya saya pada si Papa Muslim. “Saya asli Iraq. Dari Kota Mosul,” jawabnya. “Tapi sudah lebih 50 tahun di Inggris,” tambahnya. Namanya Hasyim. Saya melihat, debat-debat di Speakers’ Corner ini tidak produktif. Masing-masing ngotot dengan pendapatnya. Forum ini hanya seperti adu keras suara. Tapi ada baiknya juga. Mereka berdebat mati-matian, tapi ya hanya di mulut. Tidak sampai saling marah. Apalagi saling pukul. Hebat juga. Di zaman medsos Speakers’ Corner Hyde Park masih seru.(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait