Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Sejak masih bekerja sebagai karyawan pabrik rokok di kota asalnya, Bojonegoro, Kasan sudah kelihatan mbeling-nya. Gajinya selalu habis sebelum akhir bulan.
Uangnya dihambur-hamburkan. Untung Mak Ijem memiliki sumber rezeki lain dari berjualan sayur.
“Piyembake nate mabuk, lajeng mbeto lare wedok nakal teng griyo. Kulo mboten direken,” kata Mak Ijem.
Meski dipecat dari perusahaan karena ketahuan judi, main gaple, pada saat jam kerja, ulah Kasan tidak berubah. Dia tetap mbeling. Giliran uang warisan yang dia gerogoti. Tapi, tak lama kemudian uang warisan pun ludes.
Akhirnya pasutri ini pindah ke Surabaya, numpang di rumah anak sulungnya yang bekerja sebagai staf kantor kecamatan. Yang amat memprihatinkan, meski sudah memasuki berusia lanjut, ke-mbeling-an Kasan terus berlanjut.
Dia memang sudah tidak lagi suka main perempuan (mana bisa, wong senjatanya utamanya sudah berubah dari ketimun segar menjadi bendoyo). Walau begitu, ada kebiasaan yang tidak bisa dia tinggalkan: main dan mabuk.
Kasan sering ikut nobar pertandingan bola dan totoan bersama para tetangga dan orang-orang malam di kafe ujung gang. Kadang juga di sebuah mal tengah kota. Melihat situasi. Bila tidak ada pertandingan bola yang dapat dijadikan ajang totoan, Kasan dan para tetangga mbeber kartu. Hampir setiap malam hal seperti itu dia lakukan.
Peringatan dari istri, anak, dan menantu tidak pernah digubris. Kasan seperti sudah menjadwal kegiatannya sehari-hari. Pagi bangun pukul 10.00, kemudian cangkruk di pasar burung atau terminal, pulang untuk tidur lagi, dan malam bakda Magrib hingga pukul 03.00 atau 05.00 cangkruk di kafe ujung gang. Atau mbeber kartu. Tidak ada yang bisa mengubah jadwal itu.
Nasib sial akhirnya menimpa Kasan awal bulan lalu. Sebuah tim pemberantasan penyakit masyarakat (pekat) polsek setempat menggerebek kafe tempat Kasan dkk berjudi. Dia dan empat orang lainnya digelandang ke markas polisi beserta barang bukti berupa uang, kartu remi.
“Piyambake nyuwun ditebus, tapi mboten direken anak kulo. Ben kapok, terose,” kata Ijem, yang kini setiap hari harus membesuk suaminya ke kantor polisi. Ini sudah hari yang keempat.
Tiba-tiba dari pintu depan masuk seorang aparatur sipil Negara (ASN) berseragam masuk. “Assalamualaikum,” katanya, lalu bersalaman dengan Mak Ijem dan mencium tangannya.
“Piye? Isok ditebus tah?”
“Mboten usah Mak. Ben kapok. Nek mboten ngeten Bapak terus ae gak leren-leren.” (habis)