Mati Darurat

Kamis 15-08-2019,08:08 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Di mana-mana terjadi mati listrik. Di Amerika, Eropa, apalagi Indonesia. Penyebabnya yang berbeda. Persoalannya: Seberapa sering. Seberapa luas. Seberapa lama. Ada kalanya sering mati lampu. Itu karena produksi listrik di suatu wilayah tidak cukup. Pembangkitnya kurang. Atau rusak. Dulu di Jawa pernah seperti itu. Delapan tahun lalu. Listrik pun harus digilir. Lalu muncul istilah pemadaman bergilir. Sudah lama tidak kita dengar istilah pemadaman bergilir. Belakangan, produksi listrik sudah sangat cukup --di Jawa. Setidaknya. Jumlah pembangkitnya sudah banyak. Besar-besar pula. Kalau ada yang berkata terjadi kekurangan listrik berarti ada masalah di pembangkit. Mungkin ada pembangkit yang rusak --misalnya kurang pemeliharaan. Mungkin pasokan batu baranya bermasalah. Mungkin akibat pembayaran yang lambat --batu baranya atau angkutannya, atau dua-duanya. Atau putusan pemenang tendernya yang telat. Kesimpulannya: mati listrik akan tetap ada, tapi untuk di Jawa tidak akan sering. Dan tidak akan lama. Mestinya. Tapi kenapa yang kemarin itu begitu lama? Orang dalam tidak berani terus terang: itu ada hubungannya dengan misi penghematan. Skala prioritas PLN saat ini, saya dengar, adalah membuat laba. Salahkan itu? Saya tidak tahu. Begini gambarannya. Anda sendiri yang nanti menyimpulkan --salah atau tidaknya. Di sekitar Jakarta ini sebenarnya sudah ada pembangkit ‘cadangan’. Banyak. Besar-besar. Menggunakan gas sebagai bahan bakarnya. Atau solar-diesel. Di Priok. Di Muara Karang. Di Banten. Juga Muara Tawar. Dulu pembangkit-pembangkit itu jadi ‘soko guru’. Jadi base load. Biar pun biaya pengoperasikannya mahal. Mau tidak mau. Agar listrik cukup. Sejak lebih lima tahun lalu sudah dibangun pembangkit-pembangkit jenis baru: PLTU. Bahan bakarnya batu bara. Banyak sekali. Dan besar-besar sekali. Di seluruh Jawa. Biaya mengoperasikan PLTU batu bara itu jauh lebih murah. Dibanding yang bahan bakunya gas atau solar-diesel. Listrik yang dihasilkan batu bara harganya sekitar Rp 800/kWh. Listrik yang dari gas mencapai Rp 1.200/kWh. Listrik yang pakai minyak solar Rp 2.500/kWh. Itu angka kasar sekali. Kalau dirinci terlalu rumit. Itulah sebabnya PLTU batu bara harus lebih banyak dioperasikan. Yang gas dan solar diistirahatkan. Hanya untuk cadangan. Kelebihan PLTU batu bara adalah: murahnya tadi. Tapi punya kelemahan: begitu mati tidak bisa langsung dihidupkan. Itulah yang terjadi minggu lalu. Semua PLTU batu bara mati mendadak. Yang di sekitar Jakarta. Akibat rusaknya keseimbangan beban. Yang dipicu oleh sengon satu triliun itu (Lihat DI's Way: Sengon 1 Triliun). Untuk menghidupkannya lagi prosesnya panjang. Dan lama. PLTU itu harus didinginkan dulu. Perlu waktu 8 jam. Sambil dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Lalu batu baranya dimasukkan lagi. Dinyalakan. Agar air di boiler mendidih lagi. Untuk menghasilkan uap. Itu pun harus ditunggu dulu. Agar uapnya terkumpul banyak. Sampai memiliki tekanan sekitar 140 ton. Tergantung desain kapasitasnya. Setelah itu barulah katup uap dibuka. Uap menggerakkan turbin. Untuk menghasilkan listrik. Total perlu waktu sekitar 12-16 jam untuk bisa menghasilkan listrik lagi. Kelemahan pembangkit gas/solar adalah: biaya operasionalnya mahal. Kelebihannya: bisa dihidupkan kapan saja. Paling hanya perlu waktu 1 jam untuk bisa menghasilkan listrik. Kalau gasnya ada. Dalam keadaan siap. Kalau solarnya ada. Dalam keadaan siap. Kenapa minggu lalu pembangkit-pembangkit gas/solar tersebut tidak segera dihidupkan? Sambil menunggu PLTU Batubara menghasilkan listrik lagi? Saya tidak tahu. Persoalannya: siapa yang berwenang memerintahkan menghidupkan? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, ini menyangkut biaya besar. Bisa ratusan miliar rupiah. Bolehkah bawahan berinisiatif menghidupkannya? Saya pastikan: tidak akan ada yang berani. Bisa jadi suatu saat ia disalahkan. Bisa dianggap merugikan keuangan negara. Alasan darurat biasanya sulit diterima secara hukum. Apalagi kalau ada putusan atasan: untuk tidak gampangan menjalankan pembangkit gas/solar. Semua itu kelihatannya soal teknis. Tapi sebenarnya itu mirip tahu campur --campur kebijakan. Kebijakan itu dua macam: kebijakan negara dan kebijakan perusahaan (PLN). Penyebab teknis biasanya sulit dimengerti --oleh yang tidak ahli kelistrikan. Apalagi kalau menjelaskannya juga sangat teknis. Jadi, lamanya mati listrik Minggu-Senin lalu itu karena kebijakan atau teknis? Persisnya saya tidak tahu. Apalagi saya lagi di negeri jauh. Mungkin prioritas di PLN kini sudah bergeser: harus laba besar. Apa pun motifnya. Kekurangan listrik sudah lama berlalu. Kekurangan jaringan sudah teratasi. Kekurangan travo sudah lewat. Prioritas berikutnya adalah mencapai kehandalan. Itu pun sudah tercapai. Tapi handal lima tahun lalu belum berarti tetap handal hari ini. Kehandalan itu perlu dijaga. Berarti prioritas berikutnya adalah ‘menjaga kehandalan’ itu. Mestinya. Itu kalau PLN masih sebagai perusahaan pelayanan umum. Tapi saya tahu kalau PLN rugi akan babak belur juga. Secara politik. Kapan-kapan saya akan menulis soal ini: perlunya sebuah manajemen --pun pemimpin-- punya kemampuan merumuskan skala prioritas. Dengan benar. Menulisnya tidak besok. Tidak lusa. Perlu dipikirkan dalam-dalam. Sensitif. Hati-hati.(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait