Oleh: Dahlan Iskan
“Apa yang akan terjadi berikutnya? Tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu”.
Itulah pendapat umum di Hongkong sekarang.
Setelah demo tidak juga berhenti. Pun setelah lebih dua bulan.
Bahkan demo itu kian meningkat --jumlahnya, luasannya, dan kekerasannya.
Inilah daftar peningkatan itu:
- Awalnya demo damai. Menolak draft UU ekstradisi.
- Minggu kedua mulai bikin barikade dari pagar besi. Yang dicopot dari pinggir jalan raya.
- Pekan berikutnya lagi menjadi berani menduduki parlemen. Merusak kaca dan perabotan. Perbaikannya perlu enam bulan. Dengan dana Rp 70 miliar.
- Mulai berani mencoreng lambang negara di kantor perwakilan Tiongkok.
- Lain minggu lagi lebih berani lagi: menduduki kantor polisi.
- Peralatan yang digunakan pun kian bervariasi. Ada saja kreativitas baru. Dari hari ke hari. Awalnya menggunakan ujung payung. Lalu bata, batu. Berikutnya ketapel. Lalu botol berisi minyak. Dan terakhir ini laser pointer. Untuk mata polisi.
- Masih lebih meningkat lagi: berani membuang bendera Tiongkok ke laut dekat Victoria.
Dari pihak pemerintah juga tidak mau mundur:
- Tidak mau mencabut draft. Hanya mau membekukan dan menyatakan draft itu telah mati.
- Menyatakan demo itu perusuh.
- Menyatakan yang demo itu pengangguran.
- Menyatakan demo sudah mengancam kedaulatan negara.
- Demo itu dicampuri asing --Amerika dan Taiwan-- dan kelompok yang ingin Hongkong merdeka.
- Tidak mau memenuhi tuntutan pendemo berikutnya: bebaskan semua pendemo yang ditahan, bentuk tim independen untuk kekerasan selama demo, ubah sistem pemilu.
Sikap pemerintah itulah yang dinilai kian mengeraskan sikap pendemo. Itu penilaian kalangan akademisi.
Sikap pemerintah itu juga membuat kian luasnya dukungan masyarakat ke mereka.
Belakangan ini demonya di mana-mana. Di banyak area. Mulai pula diikuti segala usia. Segala lapisan. Juga kian brutal. Polisi juga kian banyak menggunakan gas air mata. Seminggu terakhir saja lebih 1.000 kali tembakan gas air mata.
Dan cairan merica.
Penangkapan juga kian banyak. Termasuk tokoh utama mahasiswa universitas Baptis. Yang baru keluar dari toko. Untuk membeli 10 laser pointer.
Sudah tiga orang polisi masuk rumah sakit mata. Terkena laser seperti itu.
Seperti itu pula yang membuat laser pointer dilarang. Di stadion sepak bola di negara mana pun. Bisa mengganggu mata kiper lawan. Atau wasit.
Harian Inggris terbesar di Hongkong, South China Morning Post, melakukan jajak pendapat.
Mayoritas masyarakat ternyata setuju dengan pendemo. Khususnya dalam dua hal: batalkan draft UU ekstradisi itu dan bentuk tim independen kekerasan.
Kalau dua hal itu dilakukan lebih separo tidak mau lagi ikut demo.
Publik bukan tidak setuju ada UU itu. Tapi mereka yakin: seseorang yang diekstradisi ke Tiongkok tidak akan bisa mendapatkan perlakuan hukum yang adil.
Kata mereka, di Tiongkok hukum masih tergantung keinginan penguasa.
Sampai tulisan ini saya buat dua kubu masih saling berkeras.
Demonya meluas pula ke bandara. Selama tiga hari terakhir.
Gas air matanya juga kian banyak. Pun di kompleks hunian. Polisi berani menggunakan gas air mata. Tentu ikut mengenai penduduk biasa.
Pendemo memang kian pintar. Lari ke kompleks perumahan. Untuk menghindari kejaran polisi. Juga lari ke stasiun bawah tanah.
Mereka berpikiran: polisi tidak mungkin berani menggunakan gas air mata di dua jenis lokasi itu.
Ternyata polisi tetap menggunakannya.
Penduduk ikut memusuhi polisi. Juga pengguna kereta. Mereka ikut terkena gas air mata.
Memang seminggu terakhir jumlah pendemo sudah menyusut. Tapi kian berani.
Ups... Senin kemarin membesar lagi. Lokasinya pun masuk ke obyek vital: Bandara Internasional Hongkong.
Demo di bandara itu sebenarnya hanya tiga hari. Berakhir Minggu malam. Tapi ada kejadian baru. Di demo Minggu sore: seorang pendemo luka di mata kanannya. Wanita. Serius. Terkena tembakan peluru palsu. Tadi malam dioperasi.
Langsung muncul solidaritas dadakan: Senin kemarin bandara diblokade. Semua penerbangan sampai batal. Kian sore kian seru. Kian membludak. Mungkin akan bisa mencapai 1 juta pendemo.
Pun sudah ada yang mengumandangkan ‘satu mata balas satu mata’.
Demo ini sampai kapan? Bagaimana akhir kemelut ini?
Orang hanya bisa bilang “kita hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi berikutnya”.(*)