Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (8)

Sabtu 31-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Penglihatan Bondan telah tertutup rapat saat kakinya menjejak bumi. Darah yang mengalir dari telinganya telah berhenti mengalir. Satu usaha yang luar biasa telah dilakukan Bondan ketika mengalihkan urat syarafnya pada saat tubuhnya masih melayang, dan bersamaan dengan itu, tangannya bergerak untuk menutup dua matanya dengan udeng berlukiskan bunga dan kepala singa. “Kau telah menunjukkan usaha dari semangat yang luar biasa untuk menjemput kematian, Bondan!” seru Ki Cendhala Geni. Sementara Ken Banawa dan Gajah Mada bertukar pandang karena mereka ingin tahu yang akan dilakukan Bondan selanjutnya. “Aku akan mati, Ki. Tetapi aku tidak ingin melihat tangan dewa kematian terulur pada wajahku,” sahut Bondan kemudian melangkah maju. Ki Cendhala Geni dan orang yang melihat Bondan menjadi terkejut. Bahkan Ken Banawa mulai khawatir ketika Bondan justru melangkah pada arah yang salah. Bondan tidak berjalan mendekati Ki Cendhala Geni, Bondan justru menuju bagian samping tubuh lawannya. Lalu terdengar Ki Cendhala Geni menertawakan Bondan. “Buta! Lihatlah dirimu. Sebaiknya kau maki gurumu yang mengajarimu menjadi dungu!” Ki Cendhala Geni tergelak sambil menyuruh orang-orang melihat pada Bondan. Bondan menghentikan langkahnya, lalu menengadahkan wajah sambil berkata,”Tidak seorang pun boleh menghina guruku kecuali orang-orang dungu.” Tetapi Bondan tidak menjadi terpancing oleh lawannya yang sengaja membuat gusar hatinya. “Bondan,” berkata Ki Cendhala Geni, ”sebenarnya aku ingin dapat berbicara denganmu. Aku dapat membuka hatimu apabila di masa itu kau memberiku kesempatan untuk berbicara.” “Apa yang akan kau katakan?” bertanya Bondan tanpa mengubah sikapnya. “Aku tidak mengerti pemikiran yang menyebabkanmu mengejar Prana Sampar. Sedangkan kau telah dapat memperkirakan jumlah emas yang berhasil dikumpulkan oleh mantri tua itu. Andai saja kau mau sedikit saja menggunakan nalarmu tentu saja kau dapat menikmati hidup tanpa kerja keras. Dan kau juga tidak perlu menghambakan dirimu pada Jayanegara,” kata Ki Cendhala Geni. “Aku bukan seorang hamba yang dimiliki Jayanegara,” Bondan berkata, ”aku hanya tidak ingin mereka yang telah bekerja di sawah, pasar, perkebunan dan ladang tidak mendapatkan keadilan dari yang mereka usahakan. Sedangkan kau melakukan ini semua karena ketamakan.” “Keadilan? Bukankah itu yang menjadi persoalan utama Jayanegara?” Ki Cendhala Geni sedikit gusar dengan tanggapan Bondan. Namun ia hanya melihat Bondan mengangguk kecil dan kembali berjalan gontai. Sesekali kaki Bondan  tersaruk saat melangkah. Gumilang merasa cemas sewaktu melihat Bondan seperti orang yang benar-benar buta. Langkah Bondan tidak menentu dan ia berjalan setapak demi setapak. “Bondan!” Rasa khawatir menyergap Gumilang.

Baca Juga :

Tiba-tiba semua mata yang melihat Bondan terbelalak. Mereka terperanjat. Jantung mereka seolah berhenti berdetak ketika melalui sebuah gerakan yang tidak terduga, Bondan mengerahkan puncak ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya. Bondan menghilang. Pergerakan pemuda Pajang itu sangat cepat dan berada di luar nalar orang-orang yang menyaksikannya. Medadan terdengar suara ledakan yang dahsyat saat keris Bondan menghantam tangkai panjang kapak lawannya. Ki Cendhala Geni terlena dengan sikap gerak Bondan. Jagoan tua itu  sama sekali tidak menduga adanya serangan mendadak yang sangat cepat, meski.ia dapat melihat arah gerakan Bondan yang seolah menghilang dalam pandangan orang lain. Ki Cendhala Geni harus mengangkat tangkai kapaknya untuk menghadang laju keris Bondan yang akan membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Benturan hebat terjadi saat dua senjata itu bersentuhan. Tanah tempat mereka berpijak pun tersibak seperti terjadi pusaran angin di atasnya. Debu-debu dan kerikil juga terhempas berterbangan ke segala arah. Orang-orang sekitar mereka harus melangkah surut untuk menghindari kerikil yang berjatuhan di depan mereka. Sebuah lubang dangkal yang besar berbentuk seperti lingkaran mengelilingi mereka. Seakan-akan tanah tempat mereka berpijak menjadi amblas lebih dalam. Dua orang itu terdorong surut beberapa langkah kemudian bersikap kaku seperti patung. Untuk beberapa lamanya mereka mematung seraya mengamati perkembangan masing-masing. Dada Ki Cendhala Geni terlihat naik turun dan berulang-ulang ia mengusap wajahnya. Ia benar-benar terperanjat dengan kemampuan Bondan yang meningkat tajam. Sehari sebelumnya ia masih menduga tenaga inti Bondan meningkat selapis dari pertarungan mereka yang terakhir kali. Tetapi kini, ia mendapati Bondan menyimpan kekuatan yang lebih dahsyat. Bondan ternyata tidak memberi kesempatan lebih lama bagi lawannya untuk menata saluran pernapasan yang terguncang karena gelombang benturan terpantul memukul balik padanya. Walaupun Bondan bertarung dengan mata tertutup kain namun olah geraknya semakin garang dan sangat menyengat. Ki Cendhala Geni mulai terdesak hebat dengan olah gerak Bondan yang semakin tidak dapat diduga arahnya. Petunjuk Mpu Gandamanik sangat membantu Bondan mengenali lebih dalam watak ilmu dari Resi Gajahyana. Selain itu, Mpu Gandamanik juga membekalinya pengetahuan tentang melipatgandakan ketajaman indra pendengaran. Karena itu Bondan dapat memperkirakan arah gerak lawannya dengan mendengar desir angin dan hawa pukulan. Demikianlah, kedudukan Ki Cendhala Geni semakin tertekan. Ia selalu menemui jalan buntu saat ingin melepaskan diri dari tekanan demi tekanan yang mengalir deras dari Bondan. Ki Cendhala Geni sama sekali tidak habis pikir tentang perubahan dalam oleh gerak Bondan. Betapa kapaknya yang terus menerus menggaung tetapi kesulitan menembus benteng pendengaran Bondan. Bondan memang tidak terlihat seperti saat-saat sebelumnya ketika ia harus membagi perhatian dan juga merasa sakit pada bagian dalam telinganya. Namun kini ia bertarung lebih trengginas dan benar-benar sangat menguasai keadaan perkelahian. “Apa yang ia lakukan? Seharusnya dengan mengandalkan pendengaran maka ia menjadi lebih menderita. Tetapi ia justru menjadi lebih menggila!” berkata heran Ki Cendhala Geni dalam hatinya. “Hari mulai dirundung gelap,” berkata Ken Banawa dari luar lingkaran pertarungan. Gajah Mada berpaling ke tempat matahari terbenam lalu menganggukkan kepala. ”Apakah Ki Rangga akan menghentikan perang tanding itu?” Ken Banawa menggeleng. Sementara Gajah Mada kemudian menarik napas panjang lalu katanya, ”Kedudukannya tidak dapat lagi diselamatkan.” “Entahlah,” sahut Ken Banawa. Kemudian ia berkata dengan nada cemas, ”Penglihatan yang tertutup rapat tentu tidak akan membawa akhir yang baik bagi Ki Cendhala Geni. Tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.” “Ki Rangga benar,” berkata Gajah Mada, ”mungkin Ki Cendhala Geni akan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mencapai batas akhir. Walaupun aku juga penasaran bagaimana Bondan dapat bertahan gema gaung yang tentunya menyakiti telinganya, sementara ia sendiri meningkatkan kemampuannya pada pendengaran.” Ia beringsut setapak kemudian berkata lagi, ”Sebenarnya saya menginginkan ia masih dapat melanjutkan hidup. Kita membutuhkan keterangan dari orang itu tentang apa yang kita dengar sebagai awan hitam.” “Apakah itu perintah Sri Jayanegara?” “Tidak!” jawab Gajah Mada. Ia menambahkan, ”Itu hanya sebuah dugaan saja namun saya tidak dapat berbuat lebih jauh dari sekedar menduga.” Ia berpaling pada Ken Banawa lalu bertanya, ”Apakah Ki Rangga pernah membicarakan tentang awan hitam dengan Bondan?” “Aku belum berkata apa-apa dengannya,” jawab Ken Banawa. “Tetapi ia adalah saudara Gumilang,” kata Gajah Mada, ”boleh jadi Bondan pernah membicarakan itu dengan saudara-saudaranya.” “Kemungkinan itu selalu ada.” Ken Banawa mengangguk-angguk. Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan yang hebat. Tubuh Bondan dan Ki Cendhala Geni kembali terbungkus rapat di balik gulungan sinar senjata mereka yang berkelebat dan berputar-putar sangat cepat. Bondan yang dapat memperkirakan setiap arah serangan lawannya akhirnya mampu mengulurkan ujung kerisnya menggores bagian dada Ki Cendhala Geni. Seruan tertahan keluar dari mulut lawannya.  

Baca Juga :

(bersambung)        
Tags :
Kategori :

Terkait