Suami Mirip Umay Shahab (3-habis)

Kamis 29-07-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Tuntut Harta Gono Gini

Tak ada pilihan lain bagi Eni, selain harus end dengan Aris. Eni merasa perjuangan mengangkat Aris ke kehidupan mapan berakhir sia-sia. Biarlah anak-anak menjadi tanggung jawabnya. Sebulan pasca pernikahan Aris vs Ria, muncul undangan perceraian dari PA Surabaya. Eni tak kaget. Dia pun mendatangi setiap ada undangan, dengan harapan segera ada putusan dari majelis hakim. “Kini sedang pembagian gono-gini,” kata Eni. Dia heran mengapa Aris punya pikiran menuntut harta gono-gini. Sebab, faktanya sebagian besar harta mereka adalah hasil kerja Eni. Aris lebih banyak menganggur. Hanya beberapa buan terakhir dia ikut membesarkan bisnis yang sudah besar di tangan Eni. Itu pun tidak sebanding dengan uang Rp 700 juga plus Alphard yang dibawa Aris kabur. Kalau dihitung-hitung secara matematis, seharusnya Aris justru minus. Faktanya dia tidak pernah menafkahi istri dan anak-anaknya. “Tapi biarlah. Anggap ini suratan nasibku yang sedang buruk. Anggap saja itu sedekah untuk mantan suami dan istri barunya,” canda Eni, yang sama sekali tak terkesan canda itu. Eni mengaku saat ini sedang daftar umrah untuk mengadukan nasibnya kepada pemilik semua makhluk. “Saya nekat berangkat meski ini masa pandemi,” tuturnya. Tanpa dia sadari, ada butiran tipis air mata mengumpul di sudut matanya. Terik siang memantulkan sinar dari butiran air mata tersebut. Perlahan, Eni mengusapnya dengan punggung tangan. “Maaf, terbawa emosi,” tuturnya. Pelan, tegas, tapi tersimpan nada getir pada suara tersebut. Setelah pembagian gono-gini, diakui Eni hartanya akan berkurang cukup banyak. Walau begitu, dia yakin harta tersebut masih bisa dijadikan modal usaha. “Masih ada beberapa toko di daerah pinggiran kota yang atas nama saya. Inilah yang akan saya jadikan modal awal usaha baru,” tekadnya. “Tidak sakit hati terhadap Ria?” tanya Memorandum. Pertanyaan konyol, yang sengaja Memorandum utarakan untuk menjajaki kedalaman hati Eni. “Sebagai wanita, tentu sakit. Tapi sebagai hamba Allah, saya berusaha ikhlas dengan menganggap ini sebagai ketentuan-Nya yang harus saya jalani. Yang jelas, saya tidak sanggup kalau harus hidup berdampingan dengan dia.” Suara Eni makin lama makin terdengar lirih, sebelum tenggelam dalam isaknya yang bersatu dengan sedu sedan. Jujur, Memorandum menyesal menanyakan hal konyol tadi. Untung segelas teh hangat sanggup meredam sedikit demi sedikit emosinya. (jos, habis)    
Tags :
Kategori :

Terkait