Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (5)

Senin 26-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Hari beranjak untuk menjumpai gelap. Ken Banawa segera memerintahkan seorang prajuritnya untuk meniup  sangkakala sebagai tanda berakhirnya pertempuran bagi pasukannya. Hal yang sama juga dilakukan Ki Sentot. Ia berkata pada prajurit di sampingnya, ”Ken Banawa memberi tanda mundur bagi pasukannya.” Kemudian ia tugaskan seorang pewarta untuk mengikuti langkah Ken Banawa. Kumandang mundur pun bergema. Panjang dan bersahutan. Sedikit perubahan terjadi pada garis pertempuran dua pasukan sehamparan tebasan parang. Sepintas seolah-olah tidak terlihat ada satu pihak yang terdesak, meski begitu, bagian sayap yang dipimpin oleh Warastika dipaksa mundur setapak oleh Ubandhana. Pada waktu itu, ternyata Warastika belum sanggup memperbaiki keadaan pasukannya hingga pertempuran berakhir pada hari pertama. Setiap senapati dari kedua pasukan telah meneriakkan aba-aba perintah untuk mundur dan mengakhiri pertarungan. Sekalipun sebagian prajurit tercekam gelisah dan geram, tetapi sulit bagi mereka untuk mengendalikan diri. Sebagian kecil dari mereka masih terlibat perkelahian dan saling melontarkan makian, dengan demikian pemimpin dari masing-masing kelompok harus turun untuk mencegah anggotanya agar dapat mengekang perasaan. Hanya satu yang tersisa ketika muram senja tidak sanggup menjadi penghalang perkelahian sengit antara Bondan dengan Ki Cendhala Geni. Mereka masih saling menyerang. Sesekali berbenturan tetapi senjata mereka masih belum mampu menembus pertahanan lawannya. Di bawah cahaya yang semakin berkurang, terlihat tubuh keduanya terbalut keringat seolah bermandikan darah. Beberapa orang berteriak untuk mengingatkan mereka agar menghentikan pertarungan tetapi tampaknya seruan itu tidak dihiraukan.

Baca Juga :

Tiba-tiba Bondan melompat surut menjauh beberapa belas langkah. Sejenak ia mengatur pernapasan, Ki Cendhala Geni sempat terkejut dan termangu-mangu namun tidak memburu Bondan. Sebaliknya, ia mengambil kesempatan itu untuk mengatur pernapasan juga. Sesaat muncul pikiran dalam benak Bondan untuk mengikuti seruan untuk menghentikan perkelahian. Namun ketika ia teringat kecurangan yang pernah dilakukan lawannya, maka timbul kecurigaan dalam dirinya bahwa lawannya akan beruat culas lagi. “Mungkin ada baiknya aku berhenti dari pertarungan ini. Orang itu bisa saja akan melakukan kecurangan lagi dan tiba-tiba meninggalkan medan pertarungan ketika terdesak,” kata Bondan dalam hatinya. Kemudian ia melihat sekelilingnya yang telah banyak orang-orang yang bertugas mencari korban dari masing-masing pasukan. Bagi Bondan, kehadiran Ki Cendhala Geni di tengah pertempuran dapat memberi perbedaan penting. Selain tidak ada orang yang berdiri bebas untuk menghadangnya, hal lain adalah kepandaian lelaki bertubuh tinggi besar itu sulit dipadankan dengan senapati bawahan Ken Banawa. Keadaan Bondan yang tidak membawahi prajurit akan membuatnya bergerak bebas. Maka harapan Bondan pun bertumpu kuat pada kelonggaran Ken Banawa menjalankan siasat perang. nya yang terakhir. Oleh karenanya muncul kemudian bentangan rencana dalam pikirannya. “Baiklah, aku akan meminta izin paman Ken Banawa untuk tidak terikat dalam kesatuan agar dapat leluasa mencari orang itu. Dan mungkin paman akan memerintahkan beberapa prajurit untuk mengawal dalam pencarian yang aku lakukan esok hari,” gumam Bondan seraya mengawasi kedudukan lawannya sambil menyarungkan senjata serta menggulung ikat kepalanya. “Ki Cendhala Geni, aku akan pastikan esok engkau berlutut sambil merintih seperti kucing dalam perangkap. Sementara ini, aku kira sudah cukup untukmu berkenalan lebih jauh denganku,” kata Bondan seraya melangkah mundur. Geram Ki Cendhala Geni mendengar ejekan Bondan. “Kadal bunting! Apakah engkau mengira akan selamat saat ini?” teriak Ki Cendhala Geni. “Tetapi, baiklah, mari kita lihat apakah engkau cukup hebat untuk membunuhku? Sedangkan tubuhmu akan terseret oleh kuda dan terinjak banyak telapak kaki hingga wajahmu tidak akan dapat dikenali!” Bondan hanya menatap lekat Ki Cendhala Geni yang berlari kecil meninggalkan dirinya. Tiba-tiba kakinya menghentak tempatnya berpijak, begitu kuat hentakkan tenaga inti yang tersalurkan melalui kakinya dan terasalah getaran seperti gempa yang melanda tanah sekitarnya, pohon-pohon sekitarnya pun berguncang. Bondan melepaskan gejolak perasaan agar dapat melewati malam dengan tenang. Seorang prajurit Ki Sentot yang sedang merawat luka-luka kawannya hanya termangu-mangu sambil mendesis perlahan, ”Kekuatan dari mana yang merasuki anak muda itu ? Apakah engkau merasakan tanah bergetar?” “Ya, aku kira sempat terjadi gempa sesaat pada tanah ini,” jawab kawannya itu. Ki Cendhala Geni terusik hatinya karena belum dapat mengakui Bondan yang mampu menahannya begitu lama dalam pertempuran di hari pertama. “Bagaimanapun, ia telah terluka parah di tepi hutan. Dan nasib baik masih menyertainya ketika ia dapat selamat di rawa-rawa. Bahkan hari ini pun masih terselamatkan oleh sangkakala senja,” gumam Ki Cendhala Geni dalam hatinya. “Tetapi esok ia akan menyesali alasan pertemuan denganku.”  Ki Cendhala Geni tidak lagi peduli dengan tujuannya semula setelah mendapati musuhnya yang berusia muda ternyata sanggup membuatnya di bawah tekanan. Menjadi pemenang dalam perkelahian melawan Bondan adalah satu-satunya yang menjadi perhatiannya selepas senja. Diusirnya perasaan khawatir terhadap teguran Ki Sentot Tohjaya. Dihalaunya angan-angan tentang kembalinya kejayaan Jayatkwang. Ki Cendhala Geni tidak lagi merasa adanya tekanan mengenai cita-citanya. Pikirnya dengan singkat, bila dapat menaklukkan Bondan, maka halangan besar telah terbuang jauh dengan sendirinya. Perjumpaan sebelumnya dengan Bondan menjadikannya berpikir seperti itu. Dua kali Bondan telah menjadi batu penghalangnya. Maka tidak boleh ada lagi batu untuk perjalanan berikutnya. Bondan harus dihilangkan dari permukaan bumi. Ki Cendhala Geni menyungging senyum di bibirnya. Perlahan dengan kelembutan, malam datang menyelimuti perbukitan bersama sinar rembulan kusam. Beberapa kelompok orang masih terlihat hilir mudik mencari kawannya yang menjadi korban. Kelompok orang-orang berasal dari kedua pasukan yang berlawanan. Dalam keadaan ini, kedua kelompok yang terdiri dari beberapa ratus orang tampak bekerja sama untuk menemukan korban baik yang terluka maupun meninggal dunia. Untuk sesaat mereka melupakan yang mereka rasakan dan alami di siang hari. Saat itu di pendapa padukuhan induk Karangan, Ken Banawa mengadakan pembicaraan dengan beberapa senapati. “Kita berikan istirahat pada prajurit yang bertempur sejak pagi. Dan prajurit yang datang kemudian, akan mendapat giliran ronda,” kata Ken Banawa,selanjutnya, ”gelar perang yang kita gunakan hari ini ternyata tidak memberi pukulan berat bagi mereka. Kesulitan kita ada pada jumlah mereka yang lebih banyak dan lebih terlatih.” “Jumlah itu tidak semestinya menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi kita, Ki Banawa,” kata Mpu Drana yang masih terlihat gagah di usianya yang lanjut kemudian sambungnya, ”menurutku, kehadiran beberapa ekor gajahlah yang menjadi hambatan utama bagi kita untuk mendesak induk pasukan Ki Sentot.”

Baca Juga :

“Benar. Namun kehadiran Mpu Drana menjadikan gempuran gajah-gajah itu sedikit lebih dapat dihambat. Dari delapan ekor gajah, satu ekor berhasil direbut oleh Mpu Drana, seekor yang lain berhasil dilumpuhkan oleh seorang prajurit kita,” kata Ken Banawa. Lanjutnya kemudian, ”dan sumbangsih Mpu Drana pula telah menghantam satu ekor lagi sehingga bila esok tidak ada perubahan maka lima ekor gajah akan kembali ke medan perang.” Semua orang yang berada di pendapa mengangguk-anggukan kepala. Setiap orang sedang berpikir keras dan membayangkan yang dapat mereka lakukan esok hari untuk memukul mundur pasukan gajah dan pasukan Ki Sentot. “Dan yang menjadi keanehan hari ini adalah pasukan berkuda Ki Sentot tidak tampak di arena, Ki Banawa,” kata Jayapawira dengan wajah gelisah. Pendapatnya, pertempuran pasukannya dengan pasukan Gajah Praba ternyata belum mencapai hasil akhir. Kedua pasukan harus mengakhiri pertempuran saat terdengar perintah untuk mundur. “Aku berpendapat sama dengan Ki Jayapawira,” Ra Caksana mengatakan itu sambil mengusap wajahnya, kemudian ia berkata, ”ini berarti pasukan berkuda mereka mungkin akan melakukan tandang esok hari, tetapi kita belum tahu betul gelar seperti apa yang akan mereka ungkapkan esok.” “Baiklah, sementara ini, aku pikir bahwa untuk esok hari Bondan menjadi pendamping Ki Jayapawira,” Ken Banawa memandang Bondan lalu melanjutkan, ”Ki Jayapawira akan memimpin gelar dalam pasukan itu dan engkau dapat bergerak bebas menghadapi senapati yang akan berada di sayap yang berlawanan denganmu.” (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait