Langit Hitam Majapahit – Persiapan (5-habis)

Jumat 23-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

“Selamat malam, Tuan Senapati,” kata seseorang dari pihak Ki Sentot dan tampaknya orang ini adalah pemimpin dari para penunggang kuda yang keluar dari perkemahan. “Selamat malam, Ki Sanak. Pesan apa yang menjadi sebab Ki Sanak sekalian keluar dari barisan?” tanya Ken Banawa lugas. “Kami menyampaikan pesan dari pemimpin kami, Ki Sentot Tohjaya, untuk Ki Demang Sumur Welut dan rakyatnya. Siapakah kalian?” kata pemimpin tadi. “Siapakah Ki Sanak sekalian yang menemui kami di malam gelap?” tanya Ken Banawa tanpa merasa perlu menanggapi ucapan orang tadi. “Aku adalah Ki Jayanti.” Ia menghentikan ucapannya dengan wajah memerah. Biadab! Tidak tahu sopan santun, pikirnya. Lalu ia berpaling pada seorang lelaki yang menarik perhatiannya. “Mendekatlah, Anak Muda. Supaya kau dapat melihat dengan jelas muka orang tua yang mungkin besok akan bertemu denganmu di padang ini,” kata Ki Jayanti kepada Bondan. Bondan mendekat dengan kesiagaan tinggi. Sebuah kapak terlihat dalam keremangan api dari obor. “Engkaukah itu Ki Cendhala Geni?” desis Bondan dengan suara bergetar menahan amarah. Bondan ternyata masih belum melupakan kepala Ranggawesi yang diinjak dengan angkuh oleh Ki Cendhala Geni. “Benar, Anak Muda. Setelah Ranggawesi, besok pagi adalah giliran kepalamu yang menggelinding di sini,” kata Ki Cendhala Geni menebar ancaman. “Tahan, Bondan!” Ken Banawa segera memerintahkan Bondan untuk menahan diri ketika melihat tangan Bondan bergerak pelan menarik keris. Bondan pun surut dan berlalu sambil menatap tajam Ki Cendhala Geni. Gumilang melihat manik mata Bondan seperti sebuah nyala api yang sanggup membakar setiap benda yang terlihat olehnya. Kemudian Ken Banawa berkata, ”Baiklah, Ki Jayanti. Silahkan utarakan pesan Ki Sentot kepada Ki Demang Sumur Welut. Aku akan sampaikan secepat mungkin.” “Katakan kepada Ki Demang untuk menyerah. Kami akan memperlakukan rakyat Sumur Welut sebagaimana biasa. Dan untuk para prajurit Majapahit dan pengawal Sumur Welut tidak akan ada hukuman. Bahkan kami telah menyiapkan kebutuhan mereka,” kata Ki Jayanti kemudian, ”demikianlah pesan Ki Sentot kepada Ki Demang Sumur Welut.” “Kecuali seorang anak muda yang bernama Bondan. Maka ia wajib menyerahkan kepalanya kepada Ki Cendhala Geni,” kata Ki Cendhala Geni diiringi derai tawa yang membahana. Belum selesai Ki Cendhala Geni mengatupkan bibir, sekelebat bayangan sangat cepat menerjangnya.  Tubuh Ki Cendhala Geni lekas melenting jungkir balik di udara, sekejap kemudian terdengar dentang senjata beradu dan mengeluarkan percik api. Penuh amarah, Bondan menyerang Ki Cendhala Geni hingga memaksanya memutar kapak menyambut serangan Bondan. “Hentikan, Bondan!” Ken Banawa berkata sambil menerobos ke tengah pertarungan. Demikian pula Ki Jayanti segera melakukan hal yang sama dengan Ken Banawa. “Dungu!” bentak Ki Jayanti kepada Ki Cendhala Geni, selanjutnya, ”engkau akan menggagalkan rencana Ki Sentot dengan ucapanmu yang bodoh.” “Persetan!” Ki Cendhala Geni bersungut-sungut lalu kembali menuju kudanya. Sesaat setelah keduanya menghentikan pertarungan, Gumilang mengajak Bondan menjauhi tempat pertarungan.

Baca Juga :

“Marilah, kita pergi dari sini. Besok mungkin tenaga kita akan lebih banyak dibutuhkan daripada mengurus satu orang saja,” kata Gumilang sambil mengajak Bondan kembali ke gardu pengawas. “Baiklah, Ki Jayanti. Dan sampaikan jawaban Ki Demang kepada Ki Sentot Tohjaya,” kata Ken Banawa sebelum menaiki kuda, ”katakan padanya, Sumur Welut tidak akan tunduk pada kalian, tidak akan menyerahkan siapa pun dan apa pun kepada kalian. Sumur Welut akan membakar diri bersama lereng-lereng bukit sejauh mata memandang.” “Dengan demikian, Ki Rangga, kita akan bertemu di padang rumput ini. Selamat malam,” katanya sambil melambaikan tangan Ki Jayanti memutar kudanya dan diikuti pengiringnya kembali menuju perkemahan. “Selamat malam,”  balas Ken Banawa dengan rasa hormat pada orang yang mungkin saja besok pagi akan menjadi pembunuh baginya. Demikianlah Ken Banawa diikuti Ra Caksana kembali ke gardu pengawas dan bersama Bondan serta Gumilang, mereka berempat kembali ke pendapa padukuhan induk Sumur Welut.   Ki Sentot lantas bangkit dan kembali ke kemahnya setelah mendengarkan laporan Ki Jayanti beserta para utusan yang dikirimnya menemui pihak Sumur Welut. Jawaban Ken Banawa telah menutup usahanya untuk dapat menduduki Sumur Welut tanpa ada korban. Kemudian  Ki Sentot memerintahkan penjaga kemahnya untuk mengundang para senapati untuk datang ke kemahnya. Mereka akan berbicara untuk siasat perang yang bakal dijalankan. Usai pertemuan itu, tatap mata Ki Sentot Tohjaya menerawang jauh menembus batas alam semesta. Dalam hati Ki Sentot sebenarnya tidak ingin lagi ada penderitaan yang berulang karena peperangan. Tetapi Ki Sentot merasa bahwa ia sedang mengemban tugas untuk menyingkap banyak hal. Menurutnya, Sri Jayanegara begitu lemah dalam mengambil kebijakan dan dengan demikian, hal itu berakibat seringkali menempatkan bawahan dan rakyatnya dalam keadaan yang sulit dimengerti. Banyak kemunduran yang dialami oleh rakyat Majapahit semenjak tahta diserahkan kepadanya. Terbaca jelas bahwa Ki Sentot melandaskan penyerbuan ini untuk mengakhiri pemerintahan Sri Jayanegara. Ia mempunyai keinginan untuk memulai kehidupan baru yang sesuai dengan rencananya. Bagi Ki Sentot, waktu adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk memperbaiki sebuah keadaan, namun perbaikan itu tidak akan terwujud ketika seorang raja bersandar pada pohon kebutaan. Dan perbaikan itu juga tidak akan muncul ketika cara atau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tidak nyata. “Ini seperti meniupkan angin di dalam riak sungai,” gumamnya dalam hati, ”dan bagaimanapun juga, jalan perang harus ditempuh demi sebuah harapan dan kejayaan di masa mendatang. Meski aku tidak menginginkan satu pemerintahan berdiri dari darah yang menggenang dan tanah yang basah oleh tangisan, tapi tidak ada kemungkinan lain. Tidak ada!”

Baca Juga :

Malam itu, pada sebuah kemah yang terletak agak jauh dari tenda Ki Sentot, Ki Cendhala Geni berbincang perlahan dengan beberapa senapati. “Aku tahu sejumlah orang di antara kalian mempunyai tujuan yang berbeda dengan Ki Sentot. Aku minta kalian dapat menahan diri. Pasti akan datang saatnya untuk membalaskan dendam Jayakatwang,” bisik Ki Cendhala Geni perlahan. ”Kemenangan ini sudah terlihat di depan mata. Selangkah lagi kita pasti meraihnya. Pada saat ia mulai mengarahkan senjatanya ke istana, maka pada saat itulah tugas kalian untuk memburu Jayanegara dapat dimulai.” ”Tentu saja kami akan menahan diri karena tujuan kami dan Ki Sentot tidak berbeda. Menumbangkan Jayanegara.” Seorang senapati muda berdiri lalu berkata seperti itu. “Jangan bodoh!” sergah Ki Cendhala Geni. ”Tujuan dan jalan tempuh itu berbeda. Kalian telah merasa puas dan cukup dengan kematian Jayanegara atau mungkin kalian akan mengasingkannya jauh dari tanah ini. Lalu?” Orang-orang di lingkaran itu tidak memberikan jawaban untuk pertanyaan Ki Cendhala Geni. Mereka saling bertukar pandang. Para pemimpin itu memang tidak mempunyai rencana lebih jauh dari sekedar mematikan gerak Jayanegara. Keributan dan kekacauan telah disulut di banyak sudut negeri tetapi Majapahit belum dapat digoyang dengan keributan-keributan itu. Dalam pandangan dan perhitungan mereka, perhatian Majapahit telah teralihkan. Beberapa kesatuan telah disebar untuk mengamankan wilayah-wilayah yang agak jauh dari ibukota. Dan menurut pendapat yang telah bulat disepakati, penumpukan seluruh prajurit dan orang-orang yang setia pada mereka akan mengguncang  Majapahit dengan keras. Tetapi pemikiran mereka berhenti. Hanya sampai di situ, tidak lebih. (bersambung ke bab selanjutnya)
Tags :
Kategori :

Terkait