Langit Hitam Majapahit – Persiapan (1)

Rabu 21-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Sesampainya di istana kepatihan yang telihat lengang di batas senja, Ken Banawa diperkenankan menghadap Mpu Nambi di serambi depan. “Saya mendapatkan laporan dari petugas yang mengejar Ki Cendhala Geni. Ia melihat gelar pasukan sehamparan tebasan parang di sekitar Bulak Banteng, Tuan,” ucap Ken Banawa mengawali pertemuan setelah memberi hormat dan sedikit bertukar kabar. Mpu Nambi mengangguk. Lantas ia menatap lekat wajah Bondan, saat mata mereka beradu, Mpu Nambi dapat menarik kesimpulan bila lelaki muda di depannya itu ibarat permukaan laut yang akan dilanda badai. Namun Mpu Nambi tidak mengatakan tentang yang dirasakannya. “Benar. Aku juga mendapatkan laporan tentang itu. Kita akan sulit menghadapi mereka jika tidak disertai rencana yang benar-benar cermat dan matang, Ki Rangga.” Mpu Nambi turun dari kursinya kemudian menarik napas dalam-dalam. Katanya, ”Ada satu persoalan yang sebenarnya aku sesalkan, Ken Banawa.” Mpu Nambi mematung beberapa lama seperti memikirkan tentang sesuatu yang sulit diungkapkan di depan Ki Banawa. Lalu katanya, ”Baiklah untuk sementara ini aku tunda dulu apa yang ingin aku katakan kepadamu.” Ia melangkah setapak ke samping kemudian berkata, ”Ki Rangga. Mengenai pasukan besar yang ada di Bulak Banteng, apakah kau sudah mempunyai gambaran tentang kekuatan yang ada pada mereka?” “Tuan, Bondan memberi laporan dan dikuatkan oleh Ra Caksana, mereka memberi kesaksian telah melihat sejumlah gajah turut serta dalam gelar pasukan itu,” jawab Ken Banawa kemudian. Ia memijat keningnya, memilih kata untuk membuka rencananya. Lalu senapati ini mengatakan, ”Menurut saya, dengan menggunakan gajah sebagai salah satu kekuatan mereka,  apakah Tuan memberi izin bagi saya untuk membangun pertahanan di Sumur Welut?” “Sebaiknya begitu, Senapati. Tetapi sebelumnya pastikan terlebih dahulu melalui petugas sandi, dengan begitu engkau benar-benar mampu membuat perkiraan yang mendekati kemampuan mereka,” kata Mpu Nambi kemudian menatap wajah Bondan. “Dan untukmu Bondan, aku tahu permasalahanmu dengan Ki Cendhala Geni. Sebaiknya engkau mengambil sikap waspada dan selalu ingat tujuan pertempuran ini,” pesan Mpu Nambi.

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Lalu orang yang pernah dekat dengan Ra Dyan Wijaya ini mengatupkan dua telunjuk di depan bibirnya yang terkatup rapat, matanya menerawang dinding yang tegak di depannya. Katanya, ”Secepatnya kau selesaikan pertempuran itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarmu. Aku tidak dapat mengirimkan bantuan sedikit pun. Ada persoalan lama yang tak juga kunjung dapat diselesaikan.” “Apakah Ki Nagapati sudah membawa ketegangan di kotaraja?” Ken Banawa menduga alasan Mpu Nambi yang tidak dapat mengirim bantuan pasukan. Setelah menghela napas panjang, Mpu Nambi pun melanjutkan, ”Tidak. Mereka belum memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan serangan. Ki Nagapati masih berusaha mengajak Sri Jayanegara untuk berbicara lebih dalam.” Mpu Nambi diam beberapa saat. Kemudian ia meneruskan, ”Agaknya Sri Jayanegara sudah tidak dapat dipengaruhi dengan jasa-jasa kakang Lembu Sora dan Gajah Biru. Ia tetap pada pendiriannya semula. Ah sudahlah, kita bicarakan lagi jika ada kesempatan.” Mpu Nambi mengatur letak duduknya. “Untuk membentuk satu benteng kuat di Sumur Welut, engkau dapat menyertakan Gumilang sebagai salah satu pilar. Aku telah melihatnya dalam banyak latihan baik perorangan maupun gelar perang. Ia mempunyai kemampuan memadai untuk permasalahan ini. “Aku juga telah mendengar tetntang dirimu, Bondan. Kehadiran Gumilang mungkin dapat membantumu memperkuat barisan Ki Rangga. Tetapi kau tidak dapat bergerak sendiri dalam gelanggang besar itu. Ini menyangkut keselamatan banyak orang, maka sebaiknya engkau melihat dirimu sebagai seutas tali yang menjadi ikatan sebuah perahu. “Apabila engkau melepas diri dari perintah Ki Rangga, maka itu adalah tali yang putus. Perahu akan menjauh dari dermaga dan tidak ada seorang pengendali di atasnya. Sebaliknya, jika engkau terlalu ketat pada aturan perang maka perahu tidak akan pernah berlayar jauh. Ia berada di tepi sungai selamanya.” Nada tegas terpancar jelas dari suara Mpu  Nambi. Bondan mendengarkan petuah Mpu Nambi dengan seksama. Dalam waktu itu, Ken Banawa telah mengerti maksud pemimpinnya. Dan Ken Banawa memang akan mengajak Gumilang untuk turut menyertai Bondan, selain Ken Banawa telah mengetahui tingkat kemampuan Gumilang, juga pasukan berkuda yang di bawah kepemimpinannya adalah kumpulan orang-orang terpilih dan mahir menggunakan berbagai senjata. “Baik, Tuan. Kami berdua mohon diri,” kata Ken Banawa, kemudian  ia beranjak bangkit dan diikuti Bondan yang pelan berdiri. Mpu Nambi mempersilahkan Ken Banawa dan Bondan untuk kembali ke Wringin Anom. Sambil menemani dua tamunya menuju halaman depan, ia memberi masukan beberapa siasat perang.   ******

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Di Kademangan Sumur Welut tampak sejumlah pengawal kademangan sedang mempersiapkan berbagai senjata. Di bawah petunjuk Ra Caksana, tiga kelompok orang bekerja membuat puluhan pagar bambu yang diikat dengan berbagai tanaman berduri. Siang itu Sumur Welut kedatangan ratusan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Gumilang. Kedatangan bala bantuan ini sedikit banyak memberi kekuatan batiniah pada rakyat Sumur Welut, terutama Ki Demang yang sama sekali tidak menyangka akan dibantu oleh pasukan Jala Bhirawa. Atas perintah Mpu Nambi, Ra Caksana membawahi empat regu penunggang kuda sebagai pendukung pasukan Gumilang. Mereka telah berhimpun di Sumur Welut. Ki Demang Sumur Welut telah membagi tugas bagi para pengawal dan orang-orang yang dianggapnya layak. Perbekalan dalam jumlah besar tengah disiapkan untuk kebutuhan pasukan sehamparan tebasan parang yang telah tiba dari sekitar Wringin Anom. Pasukan berkuda Gumilang, para pengawal Wringin Anom dan orang-orang yang datang membantu mulai mendirikan tenda di lapangan besar di sebelah selatan pedukuhan induk. Keseluruhan jumlah mereka mungkin lebih dari tiga ratus orang dan itu tidak berhenti karena orang masih saja berdatangan. Ki Demang Sumur Welut yang awal mulanya dirambati keraguan, tetapi penjelasan Ken Banaw dan dorongan pemimpin Wringin Anom, akhirnya memperkenankan Sumur Welut sebagai garis pertahanan terdepan. “Meskipun aku dapat menolak tetapi kademangan ini akan tetap tergilas oleh pasukan Ki Sentot. Sebenarnya aku tidak memikirkan apakah nantinya harus tunduk pada wangsa Kertarajasa atau wangsa Ken Arok, namun tetap saja untuk beberapa waktu kemudian, rakyatku akan mengalami penderitaan. Sebuah penderitaan yang tidak dapat diketahui batas akhirnya,” gumam Ki Demang Sumur Welut dalam hati, ”bila demikian maka mempertahankan tanah air adalah satu kepastian.” Pada hari itu, ia menyaksikan bahwasanya Sumur Welut tidak akan berperang sendirian. Bantuan terus bergulir memasuki wilayah kademangan termasuk serombongan orang yang mengaku berasal dari padepokan Mpu Gandamanik. Walau pun ia mengetahui jika Mpu Gandamanik tidak melestarikan padepokannya, tetapi Ki Demang mengenal para tetua rombongan, dan ia menerima mereka. Tekad Ki Demang Sumur Welut semakin membaja ketika mendengar berita yang dikirimkan Ken Banawa melalui seorang utusan. Bahwa di antara pasukan Ki Sentot telah turut bergabung beberapa padepokan dan gerombolan orang yang tidak mempunyai tujuan. Matahari telah menjejak sedikit di sebelah barat ketika Ki Demang Sumur Welut dan Ki Demang Wringin Anom berada di pendapa untuk menerima laporan-laporan tentang persiapan yang mereka lakukan. Selain itu, kedua demang ini sedang menghitung kekuatan di pihak mereka yang juga meliputi bala prajurit Majapahit. Keduanya sepakat bahwa perhitungan yang tepat dan disertai rencana yang jitu tetap harus disertai kemungkinan yang tidak terduga. Oleh karenanya kedua demang ini pun mengajak serta Ken Banawa dan senapati lain untuk berbincang tentang siasat. Mereka ti-dak dapat meremehkan kekuatan Ki Sentot Tohjaya. Dalam jumlah, laskar dari kedua demang ini juga belum tentu seimbang dengan jumlah pasukan Ki Sentot. Apalagi jika dibandingkan kemampuan setiap orang maka tentu saja kedua demang ini sama sekali tidak mengetahui kemampuan tiap orang yang bergabung dengan Ki Sentot. Tetapi keduanya meyakini bahwa Ken Banawa dan lurah prajurit lainnya akan membantu dua kademangan ini, untuk mempertahankan diri hingga batas akhir. Pohon harapan mulai mengakar dalam hati dua pemimpin kademangan  saat menyaksikan tukar pikir antar senapati di depan mereka. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait