Langit Hitam Majapahit – Bulak Banteng (3)

Senin 19-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Ki Sentot Tohjaya dan Ki Cendhala Geni bersepakat untuk melakukan pembicaraan secara mendalam tentang siasat-siasat yang akan digunakan. Dalam hati Ki Sentot Tohjaya, ia merasa kekuatannya akan meningkat dengan Ki Cendhala Geni yang berdiri di sampingnya. Kebencian Ki Cendhala Geni pada  Majapahit sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mengerahkan seluruh kemampuan orang-orangnya. Di tempat lain. Seperti yang direncanakan Bondan, Ra Caksana pun segera menyusul kelompok Bondan. Dari kejauhan terlihat rumah-rumah berjajar dalam jarak yang tidak begitu rapat, di sekitar halaman beberapa orang terlihat melakukan kegiatan. Ra Caksana memberi isyarat untuk berhenti. Ra Caksana pun memerintahkan kelompoknya sedikit mundur agar tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di pategalan. “Kita berhenti disini. Tampaknya orang-orang yang berada di pategalan itu tidak sedang mengolah tanah. Aku minta Bondan untuk lebih mendekati dan kita bicarakan lagi setelah Bondan membawa hasil pengamatan,” kata Ra Caksana setelah mereka menghentikan kuda. Perhitungan Ra Caksana adalah Bondan tidak memakai baju prajurit sehingga ia lebih bebas mengawasi dibandingkan dirinya serta anak buahnya. Meskipun Bondan bukan prajurit, namun naluri dan kebiasaan yang pernah dijalaninya telah menuntun dirinya untuk menempatkan diri secara tepat dalam kelompok yang dipimpin Ra Caksana. Bondan turun dari kuda dan berjalan kaki menuju rerimbun semak memutari pategalan yang berada di tepi luar padukuhan. Dari jarak beberapa puluh tombak, Bondan melihat berbagai latihan keprajuritan dan olah kanuragan. “Apa sebenarnya yang terjadi pada padukuhan ini?” kata Bondan dalam hatinya. Ia tak habis pikir jika ada latihan keprajuritan di padukuhan - yang sebenarnya telah ada prajurit Majapahit yang mengawal padukuhan- itu. Ia memutuskan untuk merayap mendekat agar pengamatannya dapat mendekati kenyataan sehingga laporannya akan membantu Ra Caksana mengambil keputusan. Setelah dirasakan cukup melakukan pengamatan dan berbekal keterangan dari dua lelaki yang berpapasan dengannya saat melintasi pategalan, Bondan memutuskan untuk kembali ke tempat semula. Dengan berlari kecil setengah merunduk, Bondan memintas jalan melalui tanaman jagung. Lalu ia melihat isyarat Ra Caksana yang berada di bawah rimbun beberapa pohon yang menyerupai hutan kecil. “Ra Caksana, ini mengejutkan,” kata Bondan sambil menatap wajah pemimpin prajurit itu, “aku melihat sekelompok orang tengah melangsungkan latihan keprajuritan dan olah kanuragan.” “Apakah engkau yakin, Bondan?” Bondan mengangguk mantap, lalu katanya, “Aku meyakini karena gerak dan susunan barisan itu biasa aku lihat di barak prajurit.” Lalu Bondan pun melanjutkan dengan keterangan-keterangan lain yang ia dapatkan selama pengamatan.

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
“Jika begitu, satu orang dari kalian segera menyusul Ki Banawa di Wringin Anom. Katakan seperti yang nanti aku sampaikan kepadamu. Satu orang lagi akan menyusulmu di tengah hari. Dan jika keadaan tidak berubah maka aku dan Bondan akan ke Trowulan tanpa singgah di Wringin Anom. Apapun nantinya, kita serahkan kepada senapati Ken Banawa. Kita bertemu di sana,” Ra Caksana mengatakan itu secara tegas di depan anak buahnya. Lalu ia menunjuk seseorang untuk segera menuju Wringin Anom dan menyampaikan pesan kepada Ken Banawa. Matahari mulai menanjak menuju puncak, Ra Caksana membawa kelompoknya bergerak memutar lebih ke timur. Ia ingin melihat bagian lain dari padukuhan Bulak Banteng. “Ternyata padukuhan ini lebih luas wilayahnya jika dibandingkan padukuhan-padukuhan di tepi Brantas,” desah Ra Caksana perlahan. “Benarkah? Jika begitu sangatlah berbahaya jika latihan-latihan yang ada itu ternyata bertujuan buruk,” nada datar Bondan menyahut ucapan Ra Caksana. Meski begitu Bondan dan Ra Caksana tidak mengungkapkan berbagai kemungkinan kepada para pengikutnya. Ra Caksana memerintahkan satu orang lagi ke Wringin Anom, sesuai rencananya semula, untuk melaporkan perkembangan terakhir yang mereka amati di Bulak Banteng. Kemudian mereka bergeser mendekati garis pantai dan mengamati sejumlah kegiatan hingga malam mulai menyapa mereka. Setelah merasa cukup, meraka berbalik arah, Ra Caksana dan Bondan membawa kelompoknya kembali ke kotaraja, tetapi ia memutuskan untuk singgah di Wringin Anom. Seorang pengawal yang berada di deret akhir rombongan Ken Banawa mendengar derap kuda yang dipacu cepat dari arah belakang mereka. “Tuan Senapati, ada seorang penunggang kuda di belakang kita. Ia memacu kuda dengan cepat,” kata pengawal tadi kepada Ken Banawa. “Kalian semua bersiaplah! Waspada dengan bahaya. Bunuh tawanan bila mereka bertingkah macam-macam,” perintah Ken Banawa kepada para pengawalnya. Ketika jarak sudah menjadi dekat maka terlihatlah penunggang kuda itu dengan sangat jelas. “Itu orang kita, Tuan!” “Tetap bersiaga!” Sejenak waktu kemudian, utusan Ra Caksana tiba di tempat rombongan itu berhenti. “Selamat sore, Ki Banawa,” sapa utusan Ra Caksana. “Selamat sore. Berita apa melarikan kudamu begitu cepat?” Kemudian Ken Banawa mendengarkan laporan yang disampaikan oleh utusan itu dengan seksama. Raut wajah Ken Banawa menjadi tegang dan seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. “Bersiaplah kalian. Kita percepat jalan. Wringin Anon tak lama lagi sudah berada di depan kita. Mungkin senja ini kita tidak akan berhenti untuk istirahat,” perintah Ken Banawa dengan tegas dan segera meminta Arum Sari bersedia menaiki kuda agar perjalanan menjadi lebih cepat. Selanjutnya rombongan ini bergerak menyusuri sungai, lalu terlihat di sebelah barat tanah bergunduk-gunduk yang menjadi tanda wilayah Sumur Welut. Raut wajah Ken Banawa menunjukkan kebimbangan, dengan satu pertimbangan, ia memerintahkan dua orang pengawal untuk mengundang pemimpin Sumur Welut untuk datang ke Wringin Anom. Sebenarnya ia ingin mengabaikan laporan itu dengan satu alasan yaitu tidak percaya. Tetapi pengalaman membelokkan pendapatnya.

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Malam pun datang semakin dalam ketika iring-iringan yang dipimpin Ken Banawa memasuki halaman pendapa Kademangan Wringin Anom. Seorang penjaga regol bergegas mengabarkan kedatangan rombongan ini kepada Ki Demang. Perasaan penjaga regol dipenuhi suka cita karena ia melihat Arum Sari berada di antara prajurit Majapahit. Isak tangis antara haru dan bahagia pun memecah malam. Arum Sari berbinar mata dalam peluk ibunya. Ia mengnankat wajah dan manatap mata ibunya. Di dalam hatinya pecah perasaan haru dan terbitnya kembali cahaya cinta. Menyala dan menerangi seisi ruangan. Untuk waktu yang tidak dapat dikatakan sebentar bersama Ubandhana,  Arum Sari telah merasa kehilangan harga diri dan kehormatan. Sampai batas tertentu ia masih dapat menjaga semangat  dan harapan untuk hari esok, tetapi ketika ia melihat Patraman ternyata ia harus mengubur segalanya. Ia hanya dapat mengumpat dirinya yang bodoh, marah dengan keadaan, kelemahan penjagaan dan sebagainya. Namun segala perasaan itu akhirnya ditumpahkannya pada satu orang, Patraman. Patraman adalah lelaki perenggut kehormatan yang telah menggadaikan harga diri, setidaknya itu yang dipikirkan Arum Sari ketika Patraman berada di tengah-tengah mereka. Malam itu terasa menjadi waktu yang sangat berharga baginya. Ia telah kembali hadir di tengah orang-orang yang mencintainya sepenuh hati. Bahkan Arum Sari seolah merasakan dirinya terlahir kembali. Sewaktu melihat kebahagiaan keluarga Ki Demang, Ken Banawa tampaknya harus menunda pembicaraan yang telah direncanakan. Ia tidak ingin menganggu luap perasaan mereka dengan setitik noda. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait