Langit Hitam Majapahit – Bulak Banteng (1)

Minggu 18-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Kumandang suitan nyaring ketika Ki Cendhala Geni melintas di bawah pohon asam yang besar batang pokoknya seukuran dua lengan orang dewasa. Tak lama kemudian dari rerimbun semak terdengar desir langkah orang berjalan mendekatinya. “Mereka benar-benar licik!” kata Ubandhana yang meloncat menghampiri Ki Cendhala Geni. “Hmm, aku tak menyangka ternyata engkau cerdik juga. Sebelumnya aku mengira engkau cukup berani dengan bertempur sampai akhir,” Ki Cendhala Geni menyahut sambil terus berjalan tanpa melihat mata Ubandhana. “Saya kira sangat bodoh jika pertempuran tadi harus diakhiri dengan kematian. Bukankah Anda sudah mengetahui kekuatan ilmu tiga orang itu? Ditambah lagi dengan pasukan mereka yang ternyata cukup lumayan kemampuannya.” “Engkau benar-benar cermat. Sejujurnya aku kecewa sekali dengan kekuatan orang yang dibawa oleh dua orang dungu Wringin Anom itu. Seharusnya mereka membawa orang yang lebih banyak.” Ubandhana mengabaikan ungkap kecewa Ki Cendhala Geni. “Ke mana Anda akan pergi?” “Hmm, Kahuripan sekarang bukanlah tempat yang aman untukku. Mungkin sekarang sudah dikuasai kembali oleh prajurit Majapahit. Dan tidak menutup kemungkinan orang-orang Wringin Anom akan mencariku ke sana.” “Mengapa kita tidak mencoba untuk mengambil kembali gadis itu, Tuan? Gadis itu tentu mempunyai harga yang cukup tinggi, terlebih lagi mereka pasti menuju Wringin Anom. Itu berarti mereka tidak akan bergerak cepat jika semua orang yang terluka turut dibawa serta.” Ubandhana menyembunyikan niat sebenarnya. Ia masih memendam hasrat besar untuk memiliki Arum Sari, maka ia mencoba memberi satu gagasan pada teman seperjalanannya. Bagi Ubandhana, Ki Cendhala Geni tak lebih dari orang yang mengabdikan hidup untuk selangkah di depan. Picik adalah pendapat Ubandhana. “Tidak. Kita hanya berdua, sedangkan mereka sekalipun pasukannya tidak utuh lagi tapi ada kemungkinan telah mengirim kabar ke Wringin Anom. Sehingga dengan demikian, Ki Demang dapat mengirim bantuan atau… Mungkin juga ada sejumlah prajurit yang menyusul melalui jalan yang mereka lewati saat berangkat. Kita sama sekali tidak tahu.” “Jadi, menurut Anda, apakah kita akan bersembunyi sekarang?” Ubandhana sedikit kecewa dengan tanggapan Ki Cendhala Geni. Namun ia sadar bahwa jalan terbaik baginya adalah mengikuti langkah lelaki yang dianggapnya picik. Ki Cendhala Geni mengangguk, jawabnya, “Tentu saja. Ki Srengganan mungkin sudah dihukum mati oleh utusan dari kotaraja. Sementara ini kita harus mencari tempat yang aman lalu menghilang dari kejaran Majapahit.“

Baca Juga :

“Saya sudah tidak mempunyai tempat untuk bersembunyi. Saya kira ini adalah saat terbaik untuk menunggu, lalu mencari kesempatan guna menyelesaikan semua persoalan ini,” sahut Ubandhana. Kemudian dengan nada pelan dan rendah, “Dan andai saja ada kesempatan lagi untuk bertemu dengan Bondan...” Ia tidak meneruskan ucapannya. Ubandhana yang cemas dan resah masih mempunyai harapan untuk berhadapan kembali dengan Bondan. Terbayang olehnya ketangguhan dan pancaran semangat petarung sejati. Tentu, ia adalah lawan terbaik! Ubandhana membatin. Tanpa memandang wajah Ubandhana yang seperti mengharap sesuatu darinya, Ki Cendhala Geni berkata, “Baiklah, jika demikian kita akan menuju padukuhan Bulak Banteng. Aku mempunyai kawan yang merupakan seseorang yang terpandang di sana. Seseorang yang terhempas ke dalam jurang tak berbatas karena hak yang direbut dari Sri Jayakatwang.” O, batin Ubandhana menanggapi kalimat Ki Cendhala Geni. Satu petualangan baru dengan lingkup yang berbeda. Ini lebih besar dan menjanjikan! “Benar. Memang tak seharusnya ayah Sri Jayanegara merebut tahta Kediri. Apalagi ia begitu licik dengan mengarahkan prajurit berkulit kuning itu ke Kediri.” Ubandhana berkata dengan tangan terkepal. Kemudian ia bertanya, “Sungguh menarik. Tentunya orang ini masih belum begitu tua ketika membantu Sri Jayakatwang.” Ubandhana menghentikan langkah. Dari belakang teman jalannya, ia bertanya, “Tetapi mengapa Tuan tidak pergi saja ke Alas Cangkring?” “Justru karena Mpu Gemana terbunuh maka aku datang ke Bulak Banteng. Tidak mungkin bagiku bersembunyi di padepokan yang berada dalam pengawasan prajurit dari kotaraja. Sementara di Bulak Banteng ada seorang teman yang senang jika kita dapat bekerja sama merebut kotaraja,” sahut Ki Cendhala Geni tanpa berpaling. “Oh, siapakah ia?” tanya Ubandhana yang memang tidak mengenal orang yang dimaksud. “Dulu ia seorang senapati dalam pasukan Jayakatwang. Kehancuran bala tentara Kediri akhirnya memaksanya untuk menepi. Kemudian ia memilih Bulak Banteng untuk mengumpulkan kekuatan yang berserakan. Namun kematian Mpu Gemana ternyata mengusik ketenangannya.” Ki Cendhala Geni berhenti sejenak sambil memandangi kapaknya.

Baca Juga :

Ia melanjutkan, “Beberapa hari yang lampau, ia mengirim utusan untuk menemuiku dan bertanya tentang kebenaran berita kematian Mpu Gemana. Dan ia juga menawarkan kepadaku supaya turut bergabung dengannya, menuntut balas kematian Mpu Gemana sekaligus menggantikan Jayanegara dengan orang lain yang berada di kisaran kotaraja. Yah, orang ini bernama Ki Sentot Tohjaya.” Ki Cendhala Geni mengakhiri penjelasannya. “Ki Sentot Tohjaya?” desis Ubandhana. Batinnya berkata, ‘aku pernah mendengar nama itu.’ “Engkau tidak mengenalnya jadi.. aku pikir agaknya engkau memang pantas menjadi seorang rangga di pasukan Ki Sentot,” derai tawa Ki Cendhala Geni sambil melirik Ubandhana yang sungguh-sungguh menyimak. Lalu mereka tertawa sambil melangkahkan kaki, membelah rumput ilalang, menuju jalan setapak yang akan membawa mereka ke padukuhan Bulak Banteng. Beberapa lama kemudian mereka telah melihat sejumlah rumah beratap ijuk di luar padukuhan. Sambil berjalan melintasi pategalan yang ditumbuhi ubi dan ketela, mereka berdua mengambil tempat pengamatan yang cukup terlindung dari sinar matahari. Sederet pohon pisang yang seperti berbaris di sepanjang jalan mengaburkan mereka dari penglihatan orang. “Kita akan memasuki padukuhan induk Bulak Banteng selepas senja.” “Hmm, baiklah. Memang lebih baik sedikit orang yang tahu tentang kehadiran kita di tempat ini, Tuan.” Sejenak kemudian kedua orang ini lantas merebahkan diri di atas rumput kering yang berada di sekitar pohon pisang di tepi jalan. Parit yang mengalir di bawah mereka ternyata cukup jernih untuk sekedar membasuh tangan dan muka. Tubuh dua orang ini mengalami kelelahan setelah pertempuran menjelang dini hari sebelumnya. “Kita bergantian. Aku yang pertama, bangunkan aku jika matahari barat sudah menyilaukan mata,” kata Ki Cendhala Geni sembari memiringkan tubuhnya. “Baiklah,” kata Ubandhana dengan muka masam. Lalu ia bangkit untuk mengamati sekeliling. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait