Rezeki Anak Saleh (1)

Kamis 15-07-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Komitmen Selalu Bersama

“Aku memang salah. Sudalah, ini pasti takdir Allah,” kata seorang pria di ruang  tunggu kantor seorang pengacara. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa selain dia di sana. Aneh. Suara laki-laki tadi, sebut saja Hendar, terdengar keras. Dilakukan sambil mondar-mandir. Saya dan sang pengacara di ruang lain saling pandang, lalu tersenyum. Pengacara tadi, sebut saja Ikin, berdiri menemui Hendar. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya dia singkat. “Maaf,” kata Hendar sambil menyebut nama diri, “Saya suami Siti, klien Bapak. Saya kemari memenuhi undangan Bapak,” imbuh Hendar. Bicaranya terbata-bata. Ikin memang selalu mengundang suami atau istri klien sebelum masuk masa sidang. Dia berusaha mendamaikan pasangan yang berselisih. Menasehati agar mereka berpikir ulang sebelum mengambil keputusan cerai. Tidak sedikit pasangan yang lantas mengurungkan niatnya berpisah dan kembali rukun. Hendar lantas dipersilakan masuk ruang kerja. Memorandum bergeser, memberi tempat agar Hendar bisa duduk berhadap-hadapan dengan Ikin. Mereka kemudian terlibat percakapan serius. “Sebenarnya persoalan apa sih yang menyebabkan Pak Hedar dan Bu Siti harus cerai?” tanya Ikin. Hendar tersenyum kecut. Sebentar melirik Memorandum. “Ndakpapa. Dia teman kerja saya,” kata Ikin, yang melihat keraguan di sorot mata Hendar. Hendar pun mahfum dan menceritakan latar belakang dia digugat cerai sang istri. “Sebenarnya saya tahu kejadiannya pasti akan berakhir seperti ini. Tapi saya nekat. Demi Ibu. Sungguh, ini demi Ibu. Bukan kehendak saya sendiri. Bukan nafsu saya pribadi,” kata Hendar penuh emosi. Di sudut matanya tergenang mata air bening. Ikin berusaha menenangkan Hendar yang sempat diam cukup lama. “Ceritanya, saya dan istri sudah cukup lama berumah tangga. Lima tahun. Walau begitu, kami belum dikaruniai momongan,” kata Hendar. Matanya memancarkan kesedihan. Menurut Hendar, berbagai upaya sudah mereka lakukan agar Siti bisa hamil. Tapi hasilnya selalu zong. Nihil. Meski demikian, Hendar dan Siti tidak pernah berputus asa. Mereka juga berkomitmen terus saling mencinta apa pun kondisinya. “Saya berjanji tidak akan meninggalkan Siti. Dia juga berjanji tidak akan meninggalkan saya,” tutur Hendar. “Walaupun Bu Siti tidak bisa punya anak?” tanya Ikin. “Ya. Walaupun kami tidak punya anak!” kata Hendar. Tegas. Sorot matanya lurus ke depan dengan penuh keyakinan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja sorot tajam mata Hendar meredup. Terus meredup, meredup, dan meredup sampai akhirnya hampir padam. “Tapi itu sebatas komitmen kami. Ibu diam-diam mulai ikut campur. Suatu hari beliau memanggil saya. Sendirian. Tanpa Siti,” ujar Hendar. Dalam pertemuan tersebut ibunda Hendar, sebut saja Heni, bertanya serius: kapan memberinya momongan? Hati Hendar seperti dipukul palu Thor. Bergetar keras dan sesak. (jos, bersambung)  
Tags :
Kategori :

Terkait