Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (4)

Selasa 13-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Matahari bergerak di antara kesenyapan dan perlahan membenamkan diri di balik garis semesta. Awan berpendar merah mengiringi kepergiannya yang akan kembali esok hari. Hari beranjak gelap saat mereka tiba di tepi Jatipurwo. “Paman,” kata Gumilang sambil menunjuk sebuah tempat. “Apakah Anda melihat api di sana?” Pandangan Ken Banawa mengikuti telunjuk Gumilang. “Kita berhenti. Kita bergerak dalam kelompok kecil!” Tangan Ken Banawa memberi isyarat untuk berhenti. “Bondan, Gumilang! Pergilah dengan beberapa orang. “Bondan! Ambil jalan memutar dan tempatkan kedudukanmu di belakang mereka. Engkau dapat mengawasi jalur sungai kecil yang berada di belakangmu. “Gumilang,  dekati mereka dari jarak selemparan panah namun jangan lebih dekat lagi. “Dua orang tetap di sini untuk mengawasi semuanya dan arahkan kuda-kuda ini ke arah pertarungan bila kalian melihat tanda dariku!” Ken Banawa mengatakan itu di depan pasukannya. Ketegasan memancar sangat jelas dari raut wajahnya. “Baik, Tuan!” Dua prajurit segera menuntun  delapan belas kuda itu dengan cekatan dan terampil. Ken Banawa mengatur siasat dengan cepat  sambil meraih busurnya,  kemudian berjalan diikuti tiga orang di belakangnya. Mereka mengambil jalur sebelah barat. Bondan segera berlari-lari kecil dengan lima orang prajurit menyusuri jalan kecil di sebelah timur rawa-rawa. Dan Gumilang tetap berada di tempat dengan lima prajurit. Mereka akan bergerak maju menyerbu dengan tanda yang akan diberikan oleh Ken Banawa. Tak kurang dari jarak dua lemparan panah, Bondan berhenti di bawah sebuah pohon yang besar. Malam yang remang dengan sinar bulan, dibantu dengan nyala api unggun, membuat Bondan sedikit lega karena dapat lebih jelas melihat bayangan tubuh Ubandhana. “Rebahlah!” bisik Bondan pada empat prajurit yang menyertainya. Mereka mengikuti perintah Bondan dengan saling menatap mata kebingungan, empat orang itu tidak melihat atau mendengar sesuatu yang mendekati tempat mereka Tetapi telinga Bondan mendengar derap kaki kuda yang dipacu dengan cepat mendekati mereka. Dalam waktu singkat, kelima orang ini melihat dua penunggang kuda yang tiba di seberang sungai.

Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Seseorang melayang terlebih dahulu di atas permukaan air, disusul temannya yang mengapung lebih rendah di belakangnya. Ketika orang pertama hampir mencapai bagian tengah sungai, orang kedua segera menjulurkan tangannya untuk dijadikan pijakkan oleh orang pertama. Seketika kaki kanan orang pertama menginjak telapak tangan itu, tubuhnya  dengan ringan kembali melesat tinggi sambil menjulurkan pedang yang segera diraih oleh temannya itu. Dalam waktu hampir bersamaan kedua orang ini telah mencapai bibir sungai yang dekat dengan letak pengintaian Bondan. Melihat ilmu meringankan tubuh serta dan kerjasama yang dipertunjukkan kedua orang itu, Bondan berdecak kagum. “Sungguh ketepatan dan dan keseimbangan kedua orang itu menunjukkan ketinggian ilmu mereka,” gumam Bondan dalam hati. Mereka berjalan cepat menghampiri Ubandhana yang berada di dekat api unggun. “Siapa kalian?” Ubandhana mengarahkan tombak kepada dua orang yang baru saja datang. “Tenang, Ubandhana. Aku Laksa Jaya. Dan ia adalah Patraman” kata Laksa Jaya kemudian melepas penutup muka yang dipakainya. Ubandhana menatap lekat seorang lelaki muda yang beralis tebal dan bertubuh agak gempal. ”Laksa Jaya, kita berpisah di sini.  Mana janjimu?” “Tidak, Ubandhana. Aku akan berikan janjiku jika Ki Cendhala Geni telah berada di sini dan Arum Sari berada dalam pengawasan kami.” Ubandhana mengumpat lalu ia berkata dengan kasar, ”Baiklah, kita tunggu kedatangan Ki Cendhala Geni.” Ia berjalan mendekati Arum Sari kemudian bersila. Patraman mengikutinya, berjalan di belakang Ubandhana. “Apa yang akan kau lakukan, Patraman?” tanya Ubandhana menoleh belakang. “Aku ingin melihat keadaan Arum Sari, Ubandhana.” Kelebat mata Ubandhana menyisir Patraman dari bawah ke bagian kepala. Ia sedikit mendengus namun membiarkan pemimpin prajurit itu melangkah di belakangnya. Di salam suasana remang-remang, Patraman melihat wajah Arum Sari terlihat sedikit kusut karena kurang istirahat, tetapi itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Justru Patraman makin terpukau melihat wajah tanpa sedikitpun rias menempel pada kulitnya. Sekali-sekali terdengar isak gadis itu perlahan memecah kesunyian. “Patraman,” desis Arum Sari penuh geram ketika melihat lelaki muda yang berjalan di balik punggung Ubandhana. Gadis ini menatap penuh marah pada pemimpin prajurit di Kademangan Wringin Anom. “Kini kau bersamaku. Tak perlu ada lagi yang engkau perlu takutkan. Engkau aman bersamaku di sini.” Arum Sari memalingkan muka dengan wajah memancarkan kemarahan dan kebencian tiada tara. “Engkau tak perlu mengingkari kenyataan bahwa kita pernah berbagi rasa. Dan engkau juga tahu jika aku telah menyediakan diri untuk melakukan  apa pun kehendakmu,” Patraman masih berkata-kata. Arum Sari membisu dengan lidah yang tidak kelu. Ia masih memilih untuk menghujani Patraman dengan tusukan-tusukan melalui mata. Terasa baginya semua perkataan Patraman tak lebih dari racun berbisa yang menyusup jantungnya.
Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
“Pengkhianat!” tiba-tiba Arum Sari berteriak sekuatnya hingga tiga lelaki di dekatnya menjadi terkejut. “Kau tidak berani berhadapan dengan ayahku. Engkau lebih suka membicarakan keburukan ayahku di depan para pemimpin lain. Dan, bahkan, kau juga mengumbar kelemahan ayahku di depan utusan dari kotaraja. “Tetapi, apakah engkau pernah berbicara terus terang tentang kelemahan ayahku di hadapannya? Sekarang engkau berani berbicara tentang rasa seolah aku pernah menyatakan perasaanku padamu. Aku tahu engkau berani berkata seperti itu karena aku jauh dari rumah. “Patraman! Engkau lelaki menjijikkan! Sungguh penjilat busuk!” Laksa Jaya dan Ubandhana yang mendengar ucapan Arum Sari pun mengernyitkan kening, dan tanpa sadar, keduanya saling berpandangan. “Lelaki sundal!” desis Ubandhana penuh geram. Ia tidak menduga Arum Sari benar-benar menunjukkan keberanian dengan lontaran kata-kata penghinaan pada Patraman. Bagaimana ia yakin dapat selamat?  Mungkin ia memang telah berpikir tidak akan pernah pulang menemui ayahnya lagi, pikir Ubandhana. Sekian waktu ia berada di sebelahku dengan lidah membeku, tapi aku tahu jika perempuan itu mempunyai kekerasan hati yang melebihi banyak perempuan lain. Benar-benar pemberani. Dan Patraman harus disingkirkan! Satu jalan pikiran menggores hati Ubandhana. “Patraman, aku tahu engkau tak akan berani melakukan pekerjaan ini sendirian. Aku bahkan menduga bahwa engkau merencanakan ini dengan Laksa Jaya,” kata Arum Sari dengan bersedu tangis kemudian ia melanjutkan, ”aku tahu betul siapa Laksa Jaya itu. Sayang, seorang anak muda yang berpandangan luas seperti dirinya justru berkawan erat denganmu. Engkau benar-benar racun mematikan bagi Laksa Jaya!” “Tutup mulutmu!” Patraman membentak keras. Bentakan Patraman justru menjadi angin panas yang membakar rumput kering. Arum Sari seolah mendapatkan tantangan, ia tertawa tetapi sekarang berbalut lida api kemarahan. Kemudian ia berkata, “Apakah engkau takut Laksa Jaya akan berkhianat? Atau justru engkau telah mengancam Laksa Jaya dengan menghabisi seluruh keluarganya? Patraman, dulu kau datang mengetuk rumah kami sebagai seorang prajurit rendahan. Kebaikan ayahku yang membuka peluang bagimu untuk menjejak lebih tinggi. ”Engkau adalah seekor anak ayam yang mencari perlindungan. Setelah bangunan itu terbukti mampu menangkis segala badai dan terjangan hujan, engkau mulai mengikis bagian dalamnya. Jika bukan pengkhianat, istilah apa yang lebih tepat untukmu?” Laksa Jaya membenarkan kata-kata anak perempuan Ki Demang, dalam hatinya. Ia memberi bantuan dan banyak hal karena ia sudah dapat menebak langkah Patraman selanjutnya. Maka kini Laksa Jaya merasa cemas jika pada akhirnya Arum Sari dapat selamat dari penculikan ini. Tiang gantungan atau penggal kepala menjadi sebuah penanda akhir perjalananku jika Arum Sari beruntung, pikirnya. Kemudian ia berpaling pada Ubandhana dengan cemas, “Ubandhana, apakah tak sebaiknya engkau bunuh gadis itu?” Dada Ubandhana sedikit terangkat, ia mendapatkan angin segar. “Hidup atau mati, gadis itu sebenarnya bukanlah urusanku. Karena aku hanya terikat satu kewajiban saja, membawa gadis itu hidup-hidup ke tempat ini,” desisnya sambil melihat lurus wajah Laksa Jaya, “bahkan engkau dan kawanmu itu belum memberikan apa pun padaku.” Pada waktu itu, suara keras Patraman tiba-tiba memenuhi angkasa. Ia kokoh di atas kakinya dengan rasa percaya diri menjulang.Telunjuknya mengacu pada Arum Sari yang duduk dengan lutut rapat sambil bersandar pada sebatang pohon. “Wringin Anom tidak mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, justru ia bergerak mundur. Hey! Bagaimana seorang pemimpin dapat membiarkan banjir melanda persawahan ketika musim hujan telah berhenti? Jika bukan karena aku yang memikirkannya, lalu mengerahkan segenap prajurit dan pengawal untuk membuat tanggul panjang, apa yang dapat dilakukan oleh lelaki tua yang kau akui sebagai ayah? “Lalu kau datang, memohon dengan air mata agar aku bersedia membantu ayahmu. Dan kau melihatnya, Arum Sari! Kau melihat aku dan teman-temanku bermandi lumpur, mengeringkan tubuh di bawah matahari, kami lakukan itu tanpa keluh kesah.” “Kau melakukannya karena kau berharap aku memberi perasaan itu padamu!” potong Arum Sari. “Majapahit pasti menghukummu, prajurit busuk!” Patraman tertawa kecil. “Sudah lebih dari beberapa malam ternyata pengawalmu belum kelihatan juga. Mereka dan prajurit Majapahit yang engkau banggakan itu sama sekali tidak berbuat apapun untuk keselamatan dirimu. “Jadi, terimalah keadaan ini bahwa engkau akan aman bersamaku. Engkau akan dikenang sebagai istri seorang senopati besar yang pilih tanding dan berkepandaian tinggi. “Arum Sari, para pengawalmu sebenarnya tak lebih dari sebuah kumpulan kerbau. Rajapaksi pun tak lebih dari anak ingusan yang tak tahu apa-apa. Ia akan kebingungan mencarimu, terlebih lagi ia tak akan mampu bertahan hidup bila sudah berhadapan denganku.” Seringai Patraman dan tatap matanya semakin nanar menyala.
Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
“Omong kosong!” sahut Arum Sari, “Mereka akan datang. Dan sebaiknya engkau menyesali waktu yang terbakar ketika keputusan ini menetap dalam hatimu.“ Dagu Arum Sari sedingkit terangkat, katanya, “Saat ini aku melihatmu tak lebih dari seorang prajurit rendahan yang takut pedang.” “Diam!” tiba-tiba suara Ubandhana memasuki pertengkaran mereka. “Tidakkah kalian dapat berkata dengan pelan? Patraman, sebagai lelaki, tentu kau menjunjung tinggi sebuah janji. Aku hanya mengingatkan itu karena aku sedang menyaksikanmu sedang menjadi cecunguk dari satu kawanan.” Patraman  memuncak marah, dorongan hatinya ingin menetakkan senjata pada muka Ubandhana, tetapi ia kemudian bernapas dengan tarikan panjang. Sedikit malu melanda wajah dan mengubah air mukanya, tetapi perubahan itu disembunyikan oleh bayang gelap ketika ia bergeser kakinya. Laksa Jaya menahannya agar tak berbuat lebih jauh. Katanya, “Sudahlah Patraman. Malam masih panjang sedangkan perjalanan kita belumlah selesai.” (bersambung)  
Tags :
Kategori :

Terkait