Langit Hitam Majapahit – Gunung Semar (2)

Rabu 30-06-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Dalam sepanjang waktu perawatan yang ia miliki ketika Bondan berada dalam pengawasannya, Mpu Gandamanik banyak memberi wejangan kepada pemuda dari Pajang ini. Mpu Gandamanik bicara banyak dan cukup dalam perihal ketenangan. Ia memberi tekanan pada sebuah sikap yang sekilas terlihat seperti ambang kekalahan namun hampir selalu memberi hasil yang berbeda. “Karena ketenangan hanya dapat digapai lalu menetap dalam hati seseorang ketika ia mampu menaklukkan bukit amarah dalam dirinya. Balas dendam yang didasari oleh kebenaran pun sering kali justru menemui kegagalan,” nasehat Mpu Gandamanik pada Bondan di suatu pagi. “Namun jika engkau melihatnya dari sisi lain, maka sebuah kejahatan yang dilakukan dengan tenang justru mampu menuai hasil gemilang. “Bondan. Marah, balas dendam yang disebabkan oleh harga diri atau sebab lainnya sering membutakan mata hati seseorang. Sehingga orang itu tidak dapat lagi melihat kenyataan di sekitar dirinya. Ia juga tak akan mampu mengukur ketinggian sebatang pohon kelapa meskipun sudah dibekali kemampuan serta alat untuk pekerjaan itu.” Mpu Gandamanik telah mengenal dengan baik seluruh unsur gerak dan watak dari ilmu yang dikuasai oleh Bondan. Mpu Gandamanik bahkan telah mempunyai dugaan tentang sesuatu yang berada di dalam diri Bondan, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakan pada anak muda ini. Pengetahuannya serta kekuatan batin yang tajam telah melampaui ruang dan waktu, Mpu Gandamanik memutuskan untuk menurunkan sebagian kecil ilmu lapis puncak pada murid Resi Gajahyana ini. “Perpisahan akan dan pasti tiba menghampiriku. Aku tidak dapat membawa serta seluruh pengetahuanku,” kata Mpu Gandamanik dalam hatinya. Banyak wejangan dan pandangan hidup yang ia ajarkan pada anak muda murid Resi Gajahyana ini di sela-sela kesibukannya merawat luka-luka. Melalui kata-kata yang mudah dimengerti, Mpu Gandamanik mulai mengajarkan pengetahuan kanuragan yang belum diketahui Bondan. Sesuatu yang baru dan berbeda telah menyusup serta menetap dalam relung ingatan Bondan. Melalui ruang besar di dalam benaknya, Bondan mencoba untuk memahami, melatih serta menggabungkan sejumlah unsur gerakan. “Selaras,” desis Bondan yang disambut anggukan Mpu Gandamanik. “Banyak warna dan ragam dalam olah kanuragan. Aku telah menyesap satu aliran ilmu dari eyang Gajahyana namun yang ditunjukkan oleh Mpu Gandamanik memang khas dan berbeda,” bisik Bondan dalam hatinya.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Sementara itu Mpu Gandamanik tidak henti mengulang ucapannya, bahwa ilmu yang berasal darinya tidak bertentangan dengan jalur ilmu Resi Gajahyana. Ia merasa perlu untuk menerangkan itu agar tidak terjadi keresahan dalam benak anak muda dari Pajang ini. “Setiap ilmu sebenarnya adalah ranting dari pokok yang sama. Aku adalah cabang yang menghadap sisi utara, sedangkan Resi Gajahyana menjadi ranting yang terjulur ke arah selatan. Namun ketika kau telah memahami setiap watak dari ilmu yang berasal dari kami berdua, itu adalah tahap menuju puncak. “Meski engkau mempunyai kecemerlangan berpikir dan waktu yang leluasa untuk menggabungkan semua unsur, itu tidak berarti dirimu telah berdiri di puncak kanuragan. Belum, anak muda! Bahkan mungkin masih jauh untuk dikatakan telah berada di lapisan atas. “Aku hanya ingin berpesan padamu mengenai penggabungan kedua ilmu ini. Bahwa kau akan memerlukan masa panjang untuk membuat keduanya selaras dan serasi dalam peredaran darah serta jaringan napasmu. Ini bukan pekerjaan mudah. Tidak ada yang mudah dilakukan dalam hidup, Bondan.” Mpu Gandamnik memalingkan wajah, ia berganti memandang Gumilang yang duduk agak condong di belakang Bondan lalu katanya, “Apabila engkau melihat gunung ini dari kejauhan, mungkin pertanyaan akan muncul dalam benakmu.” Lelaki muda yang berkedudukan sebagai seorang lurah dalam pasukan berkuda Majapahit itu mengangguk. “Memang tidak seperti puncak gunung atau bukit yang lain.” Mpu Gandamanik mengembangkan bibir, kemudian ucapnya, “Sisi timur tanah pegunungan ini seperti sebuah segi empat dengan sudut tumpul. Sulit bagimu untuk mengatakan bulat karena bulat bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Punggung perbukitan ini memanjang lalu mempunyai puncak tumpul di sisi utara. Sebagian orang yang mengerti siasat perang telah menyatakan bahwa gunung yang kecil ini sangat tepat untuk menjadi benteng alam.” “Sebagian orang…,” Bondan bergumam. “Ya, hanya sebagian,” lanjut Mpu Gandamanik, “karena sebagian yang lain berpikir bahwa tanah pegunungan ini adalah cermin khayangan. Mereka membayangkan persinggahan para dewa, terlebih jika kabut begitu rapat menutup seluruh permukaan tanah. “Namun demikian, sebaiknya kalian tidak mengikuti prasangka yang mungkin akan kalian dengar dari penduduk sekitar lereng. Bagian selatan yang seakan berbentuk bulat harus kalian pahami sebagai bumi bila ia berberbentuk kecil. Di kawasan itu kalian dapat melihat orang-orang bercocok tanam dengan cara yang khusus. Mereka membuat kebun dan pategalan justru pada bagian yang hampir tegak lurus. Kalian dapat membayangkan kesulitan mereka untuk menjaga keseimbangan tubuh, tetapi kalian telah melihat pemandangan itu selama kalian berada di sini. “Lalu di sisi utara kalian dapat melihat gunduk tanah lebih tinggi. Dan kalian akan setuju bila bagian itu adalah sebuah gardu penjagaan yang disediakan alam. Itu adalah puncak gunung Semar. Satu hamparan tanah lapang akan segera dapat diawasi bila kalian menempatkan prajurit penjaga. Kegiatan di sungai Brantas juga dapat dilihat dengan baik dalam keadaan cerah. Tepat di bawah puncak Semar ada bangunan ini,” telunjuk Mpu Gandamanik mengarah sekeliling ruangan.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Dua pekan berlalu dan Gumilang yang setia menemani Bondan pun mulai mengajaknya untuk kembali melenturkan otot-otot yang mulai enggan untuk bergerak. Mpu Gandamanik  merasa bahagia melihat kemajuan yang dicapai Bondan. Ia  pun sudah merasa cukup untuk merawat Bondan. “Bondan, sudah saatnya engkau pergi dari sini. Eyang sudah melihat dirimu sehat seperti semula hanya beberapa latihan lagi engkau akan seperti sedia kala,” tutur Mpu Gandamanik dengan lembut kepada anak muda yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri. “Eyang, sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di sini,” ujar murid Resi Gajahyana ini dengan kepala tunduk. Ia merasa satu pengulangan kisah akan terjadi lagi dalam hidupnya. Setelah kepergian orang tua untuk selamanya dan segera menyusul seorang yang sedang duduk di dekatnya. “Tidak,” Mpu Gandamanik mengusap kepala Bondan sambil berkata lembut. “ Bondan. Semakin engkau lama bersamaku, engkau akan menyesali keputusanmu itu.” “Di tempat ini saya dapat merasakan ketenangan, Eyang. Untuk sejenak saya ingin menata segala hal yang sempat porak poranda,” kata Bondan lirih, “maka izinkan saya tinggal untuk satu musim tanam.” pinta Bondan dengan mencium tangan Mpu Gandamanik. “Justru itulah aku akan merasa bersalah kepada saudaraku, Resi Gajahyana. Lihatlah dirimu sekarang, engkau berusia muda dengan pengetahuan yang hampir menyamai seorang resi dan kemampuan yang seban-ding dengan beberapa orang berilmu tinggi. Tidak! Engkau belum saatnya untuk bertempat di sini,” senyum Mpu Gandamanik benar-benar meluluhkan hati Bondan yang telah berniat kuat untuk lebih lama lagi di gunung Semar. “Anak Muda, seringkali perpisahan menjadi hal yang dapat menunda sebuah kebahagiaan. Atau bahkan sebuah perpisahan seringkali menjadi awal kebahagiaan,” kata Mpu Gandamanik seraya mengangsurkan keris Mpu Ngablak pada pemilik aslinya, Bondan..
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
“Itu benar, Eyang. Tetapi hanya untuk saat ini saya merasa kita tidak akan bertemu lagi,” desah Bondan dalam hatinya. “Aku yang telah merasakan sentuh jemarimu di masa lalu, kini ingin mengulang kembali masa itu dengan suasana yang berbeda. Setelah sekian lama, Eyang. Begitu lama.” Belasan tahun yang lalu, di usia yang masih sangat muda itu, Bondan belum dapat memahami arti penting dari sebuah perpisahan. Kali ini ia merasakan kehampaan dalam hidupnya untuk kedua kali. Perjalanannya meninggalkan Pajang dan waktu yang akan tiba sesaat lagi, meninggalkan gunung Semar. (bersambung)        
Tags :
Kategori :

Terkait