Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (2)

Jumat 25-06-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Di dalam bilik kecil yang disediakan oleh pemilik kedai itu, Bondan mengenang Mpu Gemana. Betapapun juga membunuh seorang penjahat seperti Mpu Gemana adalah yang pertama kali dilakukannya. Bayang-bayang wajah Mpu Gemana masih menghantuinya beberapa malam terakhir. Sebuah pertarungan antara hidup dan mati memang akan selalu menjadikan nyawa sebagai hasil akhir dari sebuah pertarungan. “Siapapun orangnya, dengan latar belakang apa saja tentu juga akan selalu merasa gugup untuk pertama kali,” Bondan menghela napas, ”selama di Pajang, aku belum pernah membunuh seorang manusia. Lalu apakah pekelahianku yang berakhir dengan kematian Mpu Gemana akan menjadi awal kebiasaan untuk membunuh? “Aku tidak dapat menghindari sebuah perkelahian. Dan keadaan semacam itu hanya ada dua jalan, membunuh atau terbunuh. Lantas, aku berpijak di bagian yang mana? Mungkin saja Mpu Gemana, Wiratama atau orang-orang yang terbunuh itu mempunyai kewajiban lain, tetapi apa yang dapat mereka perbuat jika di hadapan mereka hanya ada dua pilihan saja? “Yang pasti, aku tidak mengetahui yang akan terjadi esok dan aku bukan seorang pembunuh. Aku bukan orang yang akan membunuh tanpa alasan, dan aku akan mencoba untuk tidak membunuh.” Bondan memancangkan tekad dalam hatinya. Malam itu Bondan memikirkan tentang niat yang belum diputuskan. “Aku kira turut serta menyerang perkampungan penyamun adalah keputusan yang sangat rawan untuk dilakukan. Ini sama dengan bunuh diri karena bisa saja justru aku ditangkap dan dihukum oleh pengawal Sumur Welut yang dipimpin Ki Lurah Guritna. Salah satu kemungkinan yang menjadi penyebab adalah aku orang asing. Belum atau tidak banyak yang mengenalku, baik di lingkungan ini atau di kotaraja,” gumam Bondan dalam benaknya. Pada waktu itu, ia mengingat bahwa Resi Gajahyana pernah berpesan kepadanya tentang seseorang yang menyesap seluruh bagian alam. Penempaan diri melalui kebiasaan baik yang sudah menjadi bagian kehidupan secara wajar atau justru bertentangan. Bondan menyadari bahwa keputusannya malam ini tidak berhubungan dengan tindakannya yang benar atau salah, tetapi menegakkan kebenaran adalah tanggung jawab Bondan sebagai putra Majapahit. Dan bisa saja membunuh penjahat adalah tindakan yang benar, tetapi juga ada kekeliruan apabila dipandang dari pengajaran gurunya selama bertahun-tahun. Dingin udara malam perlahan merasuki setiap bagian bilik penginapan, Bondan pun memejamkan mata karena lelah. Tak lama kemudian ia merebahkan tubuh di pembaringan, tetapi derap langkah para prajurit menggugah pendengarannya. Ia segera menyelinap keluar tanpa diketahui orang, dari atap rumah penduduk, ia mengikuti iring-iringan prajurit yang berbaris teratur menyusur jalanan padukuhan menuju tepi hutan randu. Tubuh Bondan begitu ringan menjejak atap dan sesekali berkelebat mendahului Ki Guritna yang berada di depan. Setelah tiba di tepi hutan yang banyak ditumbuhi pohon randu, Ki Guritna memerintahkan prajuritnya untuk berhenti dan Ranggawesi memasuki hutan disertai beberapa pengawal mendahului pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Guritna. Ia bertugas untuk mengamati perkampungan para penyamun yang berada di hutan sebelah dalam. ”Sedikit sekali orang yang terlihat di perkampungan. Menurutku ini mencurigakan karena  terlalu lengang. Aku khawatir jika ini sebuah jebakan.” Ranggawesi melaporkan hasil pengamatannya pada Ki Guritna. ”Mungkin itu ada benarnya. Akan tetapi petugas sandi telah memastikan lokasi persembunyian mereka. “Ranggawesi, kita sebar prajurit untuk mengepung mereka. Aku akan masuk dari utara memutari rawa-rawa kecil. Kau bawa sebagian melalui pohon beringin kembar seperti yang dikatakan petugas sandi. Dengan begitu gerak mereka akan kamu ketahui meskipun mereka melalui sungai. Dan yang lainnya masuk melewati jalan setapak ini dengan menyebar,” kata Ki Guritna sambil menunjuk arah yang ia maksudkan. “Ki Lurah, bukankah kita sedang menunggu Ki Banawa?” tanya Ranggawesi kemudian. “Aku kira beliau akan tiba pada saatnya. Ada kemunginan Ki Banawa tidak berhenti di Wedoroanom tapi segera kemari,” jawab Ki Guritna yang telah meloloskan senjatanya. ”Baiklah, Ki Lurah. Hanya saja firasatku buruk tentang hal ini. Lebih baik prajurit tetap berdekatan jika melalui jalan setapak ini,” bisik Ranggawesi. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 1" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"] ”Aku maklumi itu. Tetapi kita tak punya pilihan lain. Ketiga jalan masuk sama-sama mudahnya untuk dihabisi. Baiklah, jika begitu tempatkan orang sebagai penghubung. Dengan demikian jika satu kelompok dari kita diserang maka penghubung akan membantu dan memberi tahu yang lain.” ”Baiklah. Setidaknya kita sedikit aman dengan siasat ini,” ucap Ranggawesi yang segera membagi prajurit dan memimpin sebagian dari mereka menuju pohon beringin kembar. Ki Guritna memerintahkan prajurit yang dipimpinnya untuk berjalan lebih cepat karena mengambil jalan memutar. Bondan segera mengikuti kelompok yang mengikuti jalan setapak dengan melompat seperti seekor tupai di antara dahan pepohonan tanpa suara. Ranggawesi yang tiba lebih dahulu masih mengamati suasana yang lengang. Api unggun terlihat di beberapa sudut perkampungan dan hanya beberapa orang yang duduk melingkarinya. Ranggawesi melihat kerlap-kerlip dari kejauhan yang merupakan pertanda bahwa pemimpinnya telah tiba di sisi yang lain. Pada saat itu Ki Lurah menggerak-gerakkan lempengan emas kecil yang terselip pada pinggangnya. Lempengan ini memantulkan cahaya yang ditimbulkan oleh nyala api kecil. Mereka pun bergerak maju mendekati perkampungan itu setelah melihat tanda yang dikirimkan pemimpinnya. Binatang malam enggan berbisik-bisik ketika para prajurit mengendap maju mendekati sarang penyamun. Senandung malam yang biasa dilantunkan kawanan jangkrik pun seolah tergulung dalam dekapan malam. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 2" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="115024, 115440, 115913" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Tiba-tiba terdengar suara kentongan yang dipukul dengan beruntun. Lalu mendadak muncul sejumlah orang dari belakang mereka. Para prajurit yang dikejutkan oleh suara kentongan bernada titir itu tiba-tiba telah berada dalam kepungan para penyamun. Kata-kata kasar dengan cepat memenuhi udara malam. Senjata berkelebat dan tampak berkilau muram oleh pantul sinar lemah rembulan. Perkelahian yang tidak mempunyai keteraturan akan terjadi. Setiap orang tidak dapat memilih lawan, tempat dan waktu untuk bertarung. Gelap meliputi prajurit Majapahit dalam segalanya. Sudah kepalang tanggung bagi Ki Guritna untuk membuka gelar perang dalam menghadapi gerombolan penyamun yang dengan cepat menyerang mereka. Satu-satunya jalan baginya adalah memecah perhatian mereka dengan membakar perkampungan sekelompok orang yang sering menganggu keamanan para penduduk padukuhan. “Jangan terburu membalas serangan mereka! Bakar apa saja yang bisa kalian bakar. Renggutlah napas mereka yang terakhir. Kita bertempur dalam api!” perintah Ki Guritna yang berada ditengah barisan. Para prajuritnya bergegas menjalankan perintahnya. Panah api yang telah disiapkan sebelumnya serentak berhamburan melesat mencapai rumah-rumah kayu para penyamun yang beratap jerami. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 3" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="116367, 116785" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Seluruh gubuk atau rumah berdinding kayu dan beratapkan jerami dari yang berukuran kecil yang puncak atapnya setinggi tiga kali orang dewasa dengan cepat terbakar. Pasukan Ki Lurah Guritna segera bertempur dengan gagah berani dalam kepungan api yang tingginya seperti bukit kecil. Puluhan senjata pun berkelebat di antara api yang berusaha menjilati mereka. Untuk tetap menjaga kemampuan dan menunjang kekuatan yang akan membayangi kekuasaan Sri Jayanegara maka para pengikut Ki Cendhala Geni menyiapkan banyak rencana. Menguasai keamanan Sumur Welut adalah satu jalan, sedangkan tujuan akhir mereka adalah merebut tahta Sri Jayanegara. Keteguhan dan keyakinan itu semakin kuat setiap harinya. Bahwa Sri Jayanegara tidak berhak menjadi raja adalah anggapan yang terus menerus didengungkan oleh para pemimpin kelompok mereka, dan menurut sekelompok orang ini seharusnya yang menjadi penguasa Majapahit adalah keturunan Jayakatwang.  Demikianlah pengertian yang mereka langgengkan dari waktu ke waktu.       (bersambung)        

Tags :
Kategori :

Terkait