Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Dugaan ayahnya benar. Nia hanya tertunduk diam ketika Jono mengutarakan niat ingin menikah lagi. Tak terdengar suara apa pun. Lebih dari 30 menit kebersamaan suami-istri ini dikuasai sepi. Dijajah senyap.
“Bagaimana?” tanya Jono kepada Nia. Lembut, tapi nadanya setengah memaksa. Nia makin tertunduk. Jono perlahan memegang dagu Nia dan mengangkatnya. Tapi, Nia tetap mengarahkan pandangan ke lantai.
Jono menarik napas panjang. Dilihatnya kedua mata Nia memerah. Menahan merembesnya air mata. Perlahan pula Nia mencoba melepaskan rangkulan Jono dan berjalan menuju kursi meja rias.
“Kalau aku berhak menolak, maka aku akan menolak,” ujar Nia lirih.
“Kalau aku mendesak?” kejar Jono. Nia tidak menjawab. Dia malah berdiri, berjalan ke sisi lain ranjang tempat suaminya duduk. Nia langsung merebahkan tubuh dan mengangkat selimut.
“Sayang…” tutur Jono. Nia malah menutupkan selimut ke sekujur tubuh. Mulai ujung kaki hingga ujung kepala. Jono akhirnya ikut berbaring. Cuma berbaring. Turut terjebak sunyi, yang menguasai kamar berukuran empat kali enam meter persegi tersebut. Cukup lama. Lebih dari satu setengah jam.
Jono akhirnya memberanikan diri memeluk Nia. Dilingkarkan lengannya ke tubuh sang istri. Tak diduga, Nia dengan cepat membalikkan badan. Tengkurap. Masih dalam selimut.
“Aku tetap akan menikahi Kenanga.”
Sepi. Tak ada respons hingga 20 menit berlalu.
“Dengan atau tanpa restumu.”
Sepi masih menjalar hingga kembali melewati menit ke-30.
“Aku tahu engkau belum tidur. Boleh ya, Yang,” desak Jono.
Sepi bergeming, bertahan sangat lama. Hingga terdengar adan kawitan dari masjid Muhammadiyah di ujung gang. Suaranya mendayu-dayu mengingatkan umat Islam bangun pada sebagian malam untuk salat Tahajud.
Selimut Nia tersibak. Perempuan pendiam itu melangkah turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi di bagian pojok. Mengguyur tubuh, mandi, dan mengambil wudlu sebelum bersiap di atas sajadah. Mengangkat tangan, bertakbiratul ihram mengawali salat Tahajud.
Jono memandangi istrinya. Bimbang. Pikirannya berperang melawan kata hati. Berkecamuk. Ego menguasai pikirannya dan mendesak agar tidak patah semangat untuk memperjuangkan keinginannya mempersunting Kenanga.
Di sisi lain, hati kecilnya berbisik halus, “Apa yang kau cari Jono? Semua sudah ada pada istrimu. Kecantikan. Kelembutan. Apa lagi? Jangan terjebak nafsu yang sengaja digulirkan setan!”
Hingga terdengar azan Subuh, pikiran Jono masih berkutat pada bagaimana cara mendapatkan restu menikah lagi dari Nia. Sebagai suami, Jono hanya tak ingin langkahnya menikah lagi menyakiti hati sang istri. (bersambung)