Surabaya, memorandum.co.id - Vaksin Nusantara yang digadang-gadang sebagai hasil karya anak bangsa ternyata lebih banyak dikembangkan oleh AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat sebagai pihak ketiga. Selain itu, Epidemiolog Unair Windhu Purnomo juga menilai Vaksin Nusantara yang menggunakan metode dendritik tidak sesuai untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 secara massal. "Hampir semua proses pelaksanaan uji klinis dan proses produksinya dilakukan tim peneliti dari AIVITA Biomedical. Tim peneliti dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang dan Universitas Diponegoro tak banyak berperan dalam uji klinis I vaksin tersebut," ujar Windhu, Jumat (9/4/2021). Menurutnya, metode dendritik Vaksin Nusantara itu lantas berpotensi membuat molornya target capaian herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap virus corona, bila vaksin yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu digunakan nantinya. "Kalau Vaksin Nusantara menggunakan sel dendritik lebih rumit dan tidak bisa dilakukan secara massal dan lebih kepada perlindungan individu, sehingga dampaknya ya lebih lama menuju herd immunity," jelas Windhu. Sebab berdasarkan cara kerjanya, vaksin itu nantinya akan mencari dari sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, yang kemudian dipaparkan dengan antigen dari Sars-Cov-2. "Ada yang janggal, karena konsep vaksinasi dendritik ini akan dilakukan di tempat terbuka. Padahal aktivitas yang memanfaatkan dendritik seharusnya dilakukan steril dan tertutup," ungkapnya. Windhu memaparkan, bahwa proses pemanfaatan dendritik dilakukan dengan mengambil sampel darah setiap penerima vaksin untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Kemudian sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari. "Setelah itu, baru hasilnya disuntik ke tubuh penerima vaksin. Harapannya dapat memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap Sars Cov-2," katanya. Dengan cara kerja itu, Windhu pun menilai vaksinasi massal sulit dilakukan. Selain proses vaksinasi yang memakan waktu cukup lama, sifatnya yang individual dikhawatirkan membuat sampel dendritik setiap orang rawan tertukar. "Sulit untuk dilakukan secara massal. Karena kalau sel dendritik milik individu A lalu ada kelalaian kemudian dimasukkan ke tubuh individu yang lain, maka bisa terjadi masalah. Artinya harus ada rentetan validasi yang membuktikan bahwa produk tersebut sebelum dimasukkan ke subjek benar-benar steril, tidak terkontaminasi, dan itu tidak dipenuhi," beber Windhu. Windhu pun menilai proses ilmiah vaksin ini kurang publikasi. Terlebih sebelumnya, tim Vaksin Nusantara mengklaim daya tahan antibodi mampu bertahan seumur hidup. Maka dengan transparansi, Windhu menilai upaya itu akan mengurangi pertanyaan dan keraguan publik terhadap hasil keamanan vaksin karya anak bangsa tersebut. "Dan yang penting kita jangan sampai melakukan over claim, dan semua harus transparan. Tidak harus secara publik kalau mau, tetapi tetap ke kalangan ilmuwan publikasinya dijalankan," terangnya. Kendati demikian, Windhu tetap mengapresiasi upaya tim Vaksin Nusantara yang telah berupaya menciptakan sebuah vaksin. Ia pun mengingatkan publik untuk tidak perlu khawatir perihal nasib vaksin nusantara ke depannya lantaran BPOM akan melakukan inspeksi dan evaluasi untuk kemudian menentukan vaksin tersebut layak digunakan atau tidak. "Kalau memang BPOM kemudian meloloskan sampai uji klinis fase III, ya bagus kita harus apresiasi, hitung-hitung tambah stok persediaan vaksin," pungkas Windhu. (mg-1/fer)
Vaksin Nusantara Tidak Sesuai untuk Vaksinasi Massal
Jumat 09-04-2021,19:51 WIB
Editor : Ferry Ardi Setiawan
Kategori :