Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Nia baru ingat kedekatan Toni vs Kemala ketika mereka masih tinggal di rumah orang tua Nia di Gunungkidul. Walau kedekatan itu amat singkat lantaran Kemala hanya mengisi liburan, tampaknya kualitas kedekatan itu membekas di hati.
Nia tidak bisa menyembunyikan kecemburuan. Dia menghentakkan hendak melabrak keduanya. Untung Gembes mengingatkan. “Jangan bikin onar di sini Mbak. Ini kawasan elite. Malu-maluin. Diselesaikan di rumah aja,” kata Gembes sambil memegang lengan Nia.
Untung Nia cepat tersadar. Dia segera mengajak Gembes balik kanan dan pulang. Malam itu ternyata Toni tidak pulang. Begitu juga keesokan harinya dan keesokan lagi.
Toni baru menginjakkan kaki di rumah pada hari keempat. “Dari mana saja kok lama, tidak seperti biasa?” sambut Nia dengan nada bicara keras dan warna wajah muram.
“Diajak Bos naik gunung,” jawab Toni kalem.
“Gunung kembar? Sama Say ya?”
“Say siapa?”
“Yang menelepon kamu kapan hari.”
Deg! Dada Toni berdesir. Walau begitu, dia berusaha menyimpan keadaan hatinya. Toni tampaknya tidak ingin kedekatannya vs Ningrat terendus sang istri. Maka, ia mencoba berkelit dengan beberapa jurus.
“Kamu jangan berbohong. Siapa perempuan yang kau tulis dengan nama Say di HP-mu?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Ningrat atau Kemala?” Nia mencoba menyudutkan Toni. Lelaki itu tampak salah tingkah.
“Atau Ningrat itu Kemala? Kemala itu Say? Jawab,” pinta Nia. Meski bernada amarah, Nia sanggup menyampaikannya dengan volume sedang-sedang saja, “Atau sebaliknya? Say itu Kemala? Kemala itu Ningrat?”
Toni tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya diam dengan bola mata berkeliaran ke sana-kemari pertanda bingung. “Jangan dikira aku orang desa yang tidak tahu apa-apa,” tutur perempuan yang mengaku memiliki tahi lalat di pipi dan di bawah dagu ini.
“Kalau sudah tahu ya sudah. Kamu mau apa?” tantang Toni.
Nia kaget mendengar jawaban tersebut. Kini giliran dia yang bibirnya kelu, tidak tahu harus berkata apa. Matanya hanya memandang tajam ke arah wajah sang suami.
Toni yang baru saja melepas sepatu dan belum sempat menanggalkan jaket mengenakan kembali jaket tersebut. Dengan tergesa-gesa Toni memakai sepatu dan menstarter motor yang diparkir di teras rumah. Tak lama kemudian terdengar deru mesin meraung-raung dan Toni amblas bersama motornya.
Tanpa sadar Nia mengambil HP-nya dan menelepon seseorang. Tidak terlalu lama berselang Gembes muncul. Nia langsung menghambur ke arahnya. Tentu saja Gembes kaget.
Tidak ada hujan tidak ada angin, tubuhnya tiba-tiba dipeluk sangat erat oleh seorang perempuan. Pelanggan ojeknya. Cantik. Gembes mencoba melepaskan diri dan bertanya, “Ada apa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?”
Tidak ada jawaban.
“Geger lagi sama suami?”
Belum ada jawaban. Nia malah mempererat pelukan. Tangis yang tadi ditahan, pecah. Walaupun lirih, tangisan mampu didengar Gembes. Tanpa sadar pemuda itu mengelus-elus punggung Nia. Lembut. (bersambung)