Lha Calon Istri Tergolong Kafir eh Nonmuslim

Senin 27-05-2019,09:21 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Aris (27), bukan nama sebenarnya) tidak bisa menyembunyikan kegundahan. Pupil matanya berkeliaran ke sana kemari. Tidak fokus. Jenggotnya yang panjang dan tebal seperti sapu ijuk menyapu sampah jalanan. Kepada Memorandum yang duduk di sampingnya, dia bertanya, “Kalau mau tanya-tanya soal perkawinan, tempatnya di mana. Di sini atau di KUA ya?” Pertanyaan itu disampaikan Aris ketika berjumpa Memorandum di pelataran Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. “Memangnya yang mau menikah siapa?” “Aku.” “Oh… di sini bisa, di KUA juga bisa. Masalah apanya?” Aris menjelaskan bahwa dirinya berasal dari keluarga Islam, tapi Islam abangan. Islam yang hanya dicatat di KTP. Istilah kerennya Islam KTP! Tidak pernah salat, tidak pernah puasa, tidak pernah bayar zakat, apalargi beribadah haji. Mengucapkan dua kalimat syahadat saja, seingat Aris, belum pernah. “Pokoknya aku lahir dari keluarga Islam, itu saja yang menandai bahwa aku beragama Islam. Jadi, bagaimana ya?” kata pemuda semikekar ini seolah tidak yakin akan ucapan dia sendiri. “Masalahnya?” Masalahnya, sahut dia, ya itu tadi. Ketidakpercayaan diri. Apalagi, calon yang bakal dia nikahi berasal dari keluarga kafir—bahasa sopannya: nonmuslim, walau di dalam Alquran nonmuslim itu disebut kafir. Aris ingin memperjelas: dalam pernikahan, mempelai putri harus ada walinya, yaitu ayah, atau paman, atau kakak laki-laki dst. Lha kalau calon istinya dari golongan kafir, apakah walinya boleh dari golongan kafir? Kalau tidak, bagaimana seharusnya? Aris juga ingin bertanya begini: dia selama ini kan masih Islam abangan. Adakah syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi orang-orang semacam dia sebelum menikah? “Pokoknya, banyaklah yang ingin aku tanyakan. Intinya, aku tak ingin pernikahan kami tidak sah. Percuma saja kan kalau tidak sah? Sudah repot-repot, ternyata gak berfaedah.” Aris menjelaskan, calon istrinya, sebut saja Kristi 26), diperkenalkan temannya yang aktif mengikuti pengajian di Masjid Al-Falah. Dia seorang mualaf yang baru setengah tahun mendapat hidayah. Aris sendiri baru menyadari ke-abangan-an Islamnya dari temannya itu. Walau begitu, dia malu bertanya soal tetek bengek soal keagamaan kepada dia. “Soalnya, di hadapan dia, selama ini aku menampilkan diri seperti orang yang paham tentang Islam, walau setiap diajak beribadah bersama, aku selalu menghindar.” Pernah suatu kali Aris dipaksa temannya itu mengimami salat Magrib di kantor. Dia didorong-dorong maju. “Lha mana mungkin aku jadi iman? Wong cara salat saja tidak mengerti, apalagi bacaan-bacaannya. Aku langsung surut ke belakang jadi makmum. Sejak itu aku selalu menghindar setiap dekat waktu salat.” Aris berjanji bakal menekuni Islam setelah menikah nanti. Agar tidak seperti bapaknya yang tidak membimbing anak-anak dan istri dalam beragama. Agar mampu menjadi wali ketika putrinya menikah nanti. Agar memiliki bekal saat menghadap sang Khaliq nanti sesudah mati. “Aku tak ingin salah membaca Al Fatihah saat menjadi imam seperti Jokowi di youtube.” (*)  

Tags :
Kategori :

Terkait