Berlibur ke Alam Kubur (Pengalaman Mati Suri Warga Mojokerto) (3)

Rabu 20-01-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Fitri memiliki wajah rupawan mirip ibunya, sebut saja Intan. Cantik. Pandai. Patuh kepada orang tua. Taat beribadah. Sejak kecil hingga duduk kelas tiga SMP relatif selalu sehat. Tidak pernah sakit berarti. Karena itu, sangat mengagetkan orang tuanya suatu saat sepulang dari study tour ke Taman Nasional Purwodadi, Pasuruan, badannya panas tinggi. Semua orang kaget. Terutama guru-guru dan teman sekolah. Sebab, saat naik bus untuk pulang, Fitri masih terlihat segar. Penuh canda dan tawa. Menurut teman sebangkunya di bus, saat naik, Fitri masih ketawa-ketiwi. “Ketika kendaraan melewati jembatan layang di Lawang, ia mengaku pusing dan badannya meriang,” kata temannya tadi, sebut saja Risa. Setelah itu sepi. Semua pada tertidur. Mungkin capai setelah mengikuti banyak kegiatan. Tiba-tiba saja Fitri mengigau. Suaranya sangat keras, tapi tidak jelas apa yang dia katakan. Risa meraba kening Fitri. Ya Allah. Panas sekali. Seperti bara. Wali kelas lantas menghubungi Hayong. Memberi tahu bahwa anaknya tiba-tiba sakit. Jadi, Hayong diharapkan menunggu di sekolah agar bisa secepatnya membawa Fitri ke rumah sakit. Ternyata dokter mengatakan tidak ada gangguan kesehatan yang berarti pada Fitri. Hanya kecapekan. Dia disuruh istirahat dan banyak-banyak makan buah. Itu saja. Fitri pun dibawa pulang. Tapi apa yang terjadi? Mendekati tengah malam, Fitri kembali mengigau. Kali ini suaranya tidak keras. Tapi tetap tidak jelas apa yang dia katakan. Hayong yang menjaga Fitri dengan selonjoran di sofa depan pintu kamarnya samar-samar mendengar geram igau Fitri. Ternyata suhu tubuhnya kembali naik. Sangat tinggi. Intan segera dibangunkan. Dokter yang tadi siang memeriksa Fitri dihubungi. Tidak ada sambungan. Upaya ini diulangi berkali-kali tapi tidak ada respons. Ada nada panggil tapi tidak diangkat. Mungkin dokternya sudah tidur, wong pancen tengah malam. Hayong lantas membawa anaknya ke rumah sakit terdekat dengan rumahnya di kawasan Surabaya barat. Intan yang selalu memeluk tubuh Fitri berbisik ke telinga Hayong. Memberi tahu suhu tubuh Fitri sudah tidak panas lagi. Mobil ditepikan. Berhenti. Hayong menyalakan lampu kabin dan meraba kening anaknya. Benar. Sudah tidak panas. Sudah dingin. Tapi dinginnya kok akan menyengat. Seperti dikeluarkan dari lemari es. Hayong memegang nadi pergelangan tangan Fitri. Ya Allah. Tidak ada detak. Dia lantas menempelkan telinga ke dada Fitri. Ya. Benar. Tidak ada detak. Intan pun mendekatkan jari telunjuk di lubang hidung Fitri. Tidak ada embusan. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Pasangan suami-istri ini lemas. Intan menangis sambil memeluk Fitri, sementara Hayong memasukkan persneling untuk melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Tapi nahas. Mesin mendadak mati. Di-starter berkali-kali tidak berhasil. Hayong memutuskan memanggil taksi. Namun ada kendala. Dia dan Intan lupa tidak membawa HP. Dia berusaha menunggu taksi lewat, tapi beberapa jam berlalu tidak ada satu pun yang lewat. Setelah azan Subuh baru ada kendaraan mendekat. Bukan taksi atau angkutan kota. Tapi becak. Hayong pun minta antar ke rumah sakit yang sebenarnya masih lumayan jauh. Giliran Hayong yang membopong Fitri. Becak pun melaju. Mungkin karena muatannya terlalu berat, becak berjalan amat pelan. Nggremet seperti siput dikejar kadal. Dokter membenarkan Fitri sudah meninggal. Urusan administrasi pun diselesaikan. Mereka lantas pulang. Tidak lagi naik taksi, melainkan ambulans. Nah, di dalam ambulans itulah Hayong melihat tubuh Fitri bergerak-gerak. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email yulisb42@gmail.com. Terima kasih  

Tags :
Kategori :

Terkait