Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Avi, begitu dia memperkenalkan diri. Masih duduk di bangku SMP. Dia mengaku kecewa kepada ibu-bapak dan kakek-neneknya yang hidup penuh kepalsuan. Hidup hanya untuk pencitraan. Inilah sepenggal kisahnya yang dikirim via email. Tulisan asli Avi. Memorandum hanya membenahi kesalahan ketik.
Jalanan yang padat merayap dan suara klakson bergantian terdengar. Aku hanya berharap agar semua cepat selesai. Jam digital menunjukkan pukul 15.46. Ini membuatku khawatir tidak dapat kembali ke rumah sebelum berbuka. Sudah 40 menit kami mengikuti mobil yayasan sosial yang memandu kami.
Sebelumnya, tadi pagi aku diberi tugas untuk ke panti asuhan. Sebagai wakil ibu. Ibu memberi penjelasan bahwa nanti dibantu nenek. Tugasku hanya membagikan amplop yang telah disediakan dan membantu menyerahkan sembako.
Awalnya aku menolak, karena sebenarnya tanpa aku ikut pun, barang tersebut tetap bisa dibagi. Namun karena waktu soreku kosong, mau tidak mau tetap harus berangkat.
Sepanjang perjalanan aku hanya mampu dan mampu menggerutu. Masalahnya bukan hanya keberadaanku tidak diperlukan, sudah beberapa kali aku disuruh mendatangi acara bagi-bagi kepada anak yatim. Namun, pembagian itu hanya digunakan sebagai pencitraan orang tuaku. Fotografer selalu disiapkan waktu pembagian. Pemotretan dilakukan dengan alasan sebagai kenang-kenangan. Biasanya pembagian dilakukan semakin sering ketika orang tuaku memiliki kepentingan tertentu. Misalnya saat mereka menjadi caleg pada pemilu.
Aku yang ketika SD dibesarkan dalam sekolah Islam tidak menyetujui cara-cara seperti ini. Sudah berkali-kali aku ingatkan bahwa itu merupakan riya’. Namun, mereka tidak pernah menggubris peringatan dan nasihatku. Sungguh, aku takut justru laknat Allah yang bakal mereka rasakan. Entah kapan. Tapi nauzubillah, mudah-mudahan mereka segera sadar.
Tidak terasa aku telah sampai tujuan. Mobilnya diparkir bersebelahan dengan Pintu Air Jagir. Bangunan yang berdiri dari 1917 itu tampak kokoh dan megah. seakan menyombongkan diri di hadapan rumah-rumah kecil yang hanya beratapkan seng. Pemandangan itu terlihat begitu jelas dari tempat parkir yang luasnya hanya dapat menampung tiga mobil itu.
Mobil yang tadinya menjadi pemandu kami akhirnya membongkar muatan. Di bagasi mobil itu terlihat puluhan tas kain yang tersusun rapi, semuanya berisikan sembako. Di seberang jalan terlihat sekumpulan anak berbaju Islami sekadarnya menghampiri mobil. Rupanya mereka merupakan anak dari panti asuhan. Mereka membantu membawakan barang-barang. Aku tak mau ketinggalan. Tangan kanan dan kiri masing-masing mencangklong tiga tas. Anak-anak panti itu beranjak dan aku disuruh sopir pemandu kami tadi agar mengikuti mereka.
Kami menyeberangi jalan yang dipenuhi sepeda motor, lalu kami menyeberangi rel kereta api. Di sebelah rel kereta, terbentang kawasan kumuh. Kami berjalan menyusuri rel. Di samping kiri terlihat rumah-rumah kecil dengan tembok yang hanya tersusun dari batu bata tanpa lapisan semen. Tanah yang berkerikil dan berdebu membuatku harus berhati- hati ketika berjalan. Kakiku yang beralaskan sepatu saja dapat merasakan bebatuan dan kerikil yang membuat tidak nyaman. Namun, kebanyakan orang di sini terlihat telanjang kaki. (bersambung)