Oleh: Dahlan Iskan
Dari Huawei merembet ke New York. Ke kereta bawah tanah. Yang jaringannya teruwet di dunia itu. Yang bisingnya bikin kangen itu.
“Jangan-jangan teknologi kereta apinya juga dipasangi penyadap,” ujar seorang anggota DPR Amerika asal New York. “Harus diperiksa yang teliti,” tambahnya.
Perusahaan kereta bawah tanah Tiongkok memang ikut tender di New York. Tingkatnya baru tender desain. Tapi sudah menang.
Berikutnya akan tender pengadaan gerbongnya. Untuk menggantikan gerbong-gerbong lama yang sudah kuno itu. Kecenderungannya Tiongkok pula yang bakal menang. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan murahnya. Dan kesiapan sumber pendanaannya.
Belakangan pengadaan gerbong kereta bawah tanah di Amerika sudah selalu dimenangkan Tiongkok. Yang di Los Angeles. Di Chicago. Di Philadelphia. Di Washington DC.
Amerika memang harus menghadang semua langkah Tiongkok. Dengan alasan keamanan nasional. Tidak bisa dibantah. Korban pertamanya Huawei. Promotor 5G di dunia. Perusahaan Amerika dilarang menjual apa pun ke Huawei. Dan dilarang membeli apa pun dari Huawei. Itulah keputusan Presiden Donald Trump minggu lalu.
Huawei sanggup menandatangani jaminan tidak akan terjadi penyadapan.
Amerika tidak mau.
Huawei minta perusahaan telekomunikasi lain juga dites hal yang sama.
Amerika tidak mau.
Akhirnya Huawei setengah menantang. Tidak boleh beli komponen dari Amerika tidak apa-apa. Huawei sudah siap. Sudah lama jaga-jaga. Sejak dulu sudah mengira siapa tahu ada kejadian seperti ini. Yang ternyata benar-benar terjadi.
Amerika mengira Huawei langsung terkena Achilles Heel-nya. Dikira di situlah kelemahan utama Huawei: tergantung pada chips bikinan Amerika.
Ternyata Huawei sudah bisa membuat chips sendiri. Melalui HiSilicon. Anak perusahaan yang khusus di bidang pembuatan chips. Yang dilahirkan khusus untuk jaga-jaga kalau ada masalah seperti ini.
Chips bikinan HiSilicon itu sebenarnya sudah dipakai Huawei. Untuk produknya yang kelas premium. Pembelian chips Huawei ke HiSilicon sudah mencapai sekitar Rp 140 triliun setahun. Baru sepertiga dari kebutuhan chips secara keseluruhan. Selama ini Huawei masih membeli chips dari beberapa perusahaan Amerika. Salah satunya Qualcomm. Senilai sekitar Rp 350 triliun setahun.
Perusahaan chips Amerika tentu akan kehilangan omset sebesar itu.
Huawei pun ternyata aman.
Ups... belum!
Amerika terus cari jalan mengejar Huawei. Ketemu. Google diminta untuk menghentikan kerjasamanya dengan Huawei. Google App, Google Play, YouTube dan Gmailnya tidak boleh lagi dipakai Huawei.
Pemilik HP Huawei, seperti saya, masih terus bisa menggunakan fasilitas milik Google itu. Tapi untuk produk Huawei yang baru sudah tidak boleh lagi.
Belum ada penjelasan bagaimana Huawei mengatasi hukuman terbaru ini. Di pasar Tiongkok tidak ada masalah. Di Tiongkok, Google memang sudah lama dilarang. Tiongkok punya ‘google’ sendiri: Baidu.
Tapi untuk pasar Huawei di luar Tiongkok perlu ada penjelasan khusus. Itulah yang lagi ditunggu dunia. Yang jelas Huawei tidak akan tinggal diam. “Dalam dua tiga tahun ke depan Amerika masih belum bisa mengejar Huawei,” ujar Ren Zhengfei, pendiri Huawei.
Begitu seru langkah-langkah Trump.
Baru kali ini terjadi. Negara melawan satu perusahaan swasta.
Trump terus mempertahankan prinsipnya: sudah terlalu lama Amerika mengalah ke Tiongkok. Di bidang perdagangan. Ia tidak menyalahkan Tiongkok. Ia selalu menyalahkan presiden-presiden Amerika sebelumnya. Yang tidak mau berbuat seperti yang ia lakukan sekarang ini.
Tiongkok sendiri masih terus cari akal. Apa lagi yang bisa dilakukan. Setelah tidak mau mengimpor kedelai, jagung, dan babi dari Amerika.
Dua hari lalu Presiden Xi Jinping melakukan kunjungan ke daerah selatan. Ke Provinsi Jiangxi. Ke satu pegunungan di perbatasan dengan Fujian. Ke Desa Yudu.
Di situ ada monumen bersejarah. Tempat Mao Zedong dulu memulai long march. Menghindari kejaran tentara nasionalis pimpinan Chiang Kai Shek.
Dari situ Mao dan pengikutnya melakukan perjalanan jauh. Yang melelahkan. Dan membahayakan. Menerobos pegunungan-pegunungan tinggi. Melintasi enam provinsi. Sambil menyusun kekuatan. Dan kehilangan separo tentaranya. Terutama saat menyeberang sungai ganas di Guangxi. Di saat banjir besar.
Akhirnya Mao tiba di Provinsi Xi'an di utara. Di sana disambut tokoh daerah. Yang menambah semangat perjuangan Mao. Di sinilah Mao menyusun pasukannya. Untuk menaklukkan kekuasaan Chiang Kai Shek di seluruh Tiongkok. Tokoh daerah yang menyambutnya itu adalah: ayah Xi Jinping.
Kunjungannya ke Yudu itu ditafsirkan sebagai napak tilas. Bahwa Tiongkok siap melakukan long march baru. Long march di zaman modern. Menderita dalam waktu yang panjang. Sambil tidak mau takluk pada musuh. Kali ini musuhnya adalah Amerika.
Isyarat yang ingin disampaikan: Tiongkok siap untuk perang panjang. Dengan segala pengorbanan.
Xi Jinping lantas mengunjungi satu pabrik di Jiangxi. Bukan pabrik sembarang. Ini pabrik rare earth. Tanah jarang. Tanah langka. Yang memproduksi 27 jenis kimia tambang. Salah satunya bahan baku low carbon. Yang dipakai untuk membuat layar HP, casing HP, pesawat TV, dan elektronik lainnya.
Tiongkok menguasai 90 persen bahan baku rare earth dunia. Ada kemungkinan Tiongkok akan melarang ekspor rare earth ke Amerika.
Kita memiliki sedikit rare earth di Bangka. Yang dulu diekspor sebagai tanah sisa tambang. Kini benda itu tentu sangat berharga. Di sela-sela perang dagang mereka.
Perang dagang telah berkembang ke perang dingin.(*)