Majelis Hakim MK Tolak Judicial Review Pohon Ganja 

Jumat 15-01-2021,20:22 WIB
Reporter : Ferry Ardi Setiawan
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Surabaya, memorandum.co.id - Permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan terpidana Ardian Aldiano terkait tafsir pohon ganja ditolak  majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam amar putusannya, majelis hakim MK  yang diketuai Anwar Usman menyatakan, bahwa permohonan terpidana kasus kepemilikan tanaman ganja itu tidak beralasan hukum. "Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar ketua majeilis hakim Anwar saat membacakan amar putusan dalam sidang yang ditayangkan secara streaming melalui akun YouTube MK, Kamis (14/1/2021). Majelis hakim menilai, pengertian kata pohon dalam pasal 111 ayat 2 dan pasal 114 ayat 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah tumbuhan berkayu yang memiliki akar, batang, daun, bunga dan biji yang tidak memiliki ukuran tertentu. Pengertian tersebut merujuk pada bahasa yang biasa digunakan masyarakat sehari-hari. Masyarakat lebih mengenal istilah pohon daripada perdu untuk tumbuhan tersebut. "Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil pemohon berkenaan dengan perlunya penafsiran kata pohon yang ditafsirkan sebagai tumbuhan berkayu yang mempunyai akar dan batang dengan tinggi minimum lima meter tidak beralasan hukum," tutur hakim anggota, Aswanto. Selain itu hakim menilai, bahwa pengertian kata pohon harus merujuk pada sumber-sumber dan pendapat para ahli botani yang bermacam-macam. Tidak ada ukuran yang pasti untuk menggambarkan klasifikasi ketinggian yang sama persis antara pohon satu dengan pohon yang lainnya. Klasifikasi pohon bergantung kebutuhan secara kontekstual. Dalam pertimbangan lainnya, majelis hakim juga berpendapat bahwa pengertian pohon dalam UU Narkotika tersebut sudah jelas dan mereka menolak pendapat pemohon yang menyatakan tafsir kata pohon dapat menimbulkan disparitas hukum. Menurut hakim konstitusi, negara telah memberikan independensi kepada majelis hakim dalam mengadili perkara pidana tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Sedangkam pertimbangan berikutnya, dalam UU Narkotika juga telah memberikan batasan hukuman maksimal dan minimal yang menjadi pedoman hakim dalam memutuskan perkara. Putusan perkara narkotika tidak hanya mempertimbangkan batang buktinya pohon atau tidak, melainkan juga banyak pertimbangan lain yang menentukan apakah terdakwa dihukum berat atau tidak. "Pendapat pemohon yang menyatakan tafsir kara pohon telah meninggalkan disparitas hukum adalah kesimpulan yang sumir dan tidak berdasar," kata hakim Suhartoyo. Sebagaimana diberitakan, pengacara Dino, Singgih Tomi Gumilang sebelumnya beralasan bahwa selama ini terjadi disparitas hukum antara perkara satu dengan yang lain. Perkaranya sama, tetapi putusan terhadap perkara tersebut jauh berbeda. Singgih membandingkan perkara Dino dengan perkara lain yang sama-sama menanam tanaman ganja. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya sebelumnya memvonis Dino pidana enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair dua bulan kurungan. Sedangkan terpidana perkara lain yang sama hanya divonis pidana hitungan bulan. Singgih beralasan bahwa terjadinya disparitas hukum ini tidak ada tafsir yang jelas mengenai kata pohon dalam UU Narkotika. Dino dipidana setelah ditangkap polisi karena membudidayakan tanaman ganja secara hidroponik di rumahnya di Perum Wisma Lidah Kulon. Polisi menemukan 27 tanaman ganja yang dibudidayakan Dino. Satu tanaman tingginya mulai tiga sentimeter hingga 37 sentimeter. Singgih saat dikonfirmasi membenarkan bahwa permohonannya ditolak MK. "Iya ditolak. Nanti sampai Jakarta saya info. Saya sekarang masih perjalanan di Aceh," ucap Singgih. Sementara itu, Rudhy Wedhasmara, salah satu kuasa hukum yang mendampingi terpidana di MK mengatakan, ia bersama tim masih akan mempelajari dari pertimbangan putusan ini." Kita pelajari dulu," kata Rudhy. (mg-5/fer)

Tags :
Kategori :

Terkait