Bakpao Legendaris Jombang Bertahan di Masa Pandemi Covid-19

Selasa 12-01-2021,15:22 WIB
Reporter : Aziz Manna Memorandum
Editor : Aziz Manna Memorandum

Jombang, memorandum.co.id - Siapa yang tidak kenal jajanan bakpao. Bakpao merupakan makanan yang enak dan nikmat dengan isi yang bermacam-macam. Di Jombang juga terdapat pembuat bakpao legendaris. Namanya bakpao Tjuyen, yang berada di Dusun Babatan, Desa Kepuhkembeng, RT/RW 03/03, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Pemilik produksi bakpao Tjuyen ini bernama Sulastri (62). Sulastri menerangkan, bakpao Tjuyen ini sejak tahun 1976, di Mojokerto selama empat tahun, kemudian ke Madiun. Lalu pada tahun 1982 kembali ke Mojokerto. Dan pindah ke Jombang pada tahun 1986. "Usaha pertama kali dilakukan oleh almarhum suami saya, Karmudi. Kemudian diteruskan oleh oleh saya dengan dibantu anak-anaknya. Dan di Jombang, bakpao Tjuyen merupakan yang pertama," terangnya kepada jurnalis di rumahnya, Selasa (12/1/2021). Bakpao Tjuyen buatan Sulastri ini, isinya ada lima varian rasa. Yakni rasa kacang hijau, rasa kacang tanah, rasa coklat, rasa ayam, dan rasa stroberi. Satu hari membuat adonan sebanyak 30 kilogram. "30 kilogram itu bisa menjadi 800 bakpao. Untuk harga satu bakpao Rp 3000 rupiah. Untuk rasa juga masih terjaga dari dulu hingga sekarang. Nggak pernah pakai pengawet," ujarnya. Sulastri menjelaskan, bahwa proses pembuatan biasa saja, secara manual memakai tangan, tidak memakai mesin. Dirinya beralasan kalau tidak bisa beli mesin. Disamping itu, membuat secara manual juga karena menjaga kualitas rasa. "Iya, buatnya memakai cara manual. Ini untuk menjaga kualitas rasa juga. Bakpao saya dapat bertahan selama dua hari saja. Kalau lebih dua hari tidak saya jual," jelasnya. Untuk omzet Sulastri mengungkapkan, dalam sehari kalau bakpaonya habis, ia dapat omzet sebesar Rp 1,5 juta. Sedangkan karyawan yang dimilikinya saat ini ada lima orang. "Saya membuka cabang di Nganjuk. Membuatnya ya disini (Jombang, red)," ungkapnya. Dalam berjualan bakpao, Sulastri menandaskan, dia lebih memilih memakai gerobak dari pada berjualan di toko atau memakai becak motor. "Pakai gerobak ini juga menjaga ciri khas dari bakpao Tjuyen," tandasnya. Nama Tjuyen, papar Sulastri, sebenarnya berawal saat suaminya dahulu ikut orang keturunan Tionghoa di Simolawang Gang I Surabaya sebagai juru masak. "Karena pemilik meninggal dan tutup, suami saya diperbolehkan memakai nama Tjuyen untuk bakpao yang kami buat," paparnya. Bu Sulastri juga menurunkan ilmunya membuat bakpao ke lima anaknya. Sebelum sang bapak meninggal, sempat mengajari anak-anaknya dalam membuat bakpao. Mulai dari awal sampai menjadi bakpao. "Jadi anak-anak sudah bisa. Sekarang yang membuat anak-anak saya. Jadi ini generasi kedua bakpao Tjuyen. Untuk cita rasa tetap seperti dulu, tidak berubah," cetusnya. Dalam memasak, Sulastri menggunakan gas elpiji. Bakpao dimasak dalam tempeh yang berisi 25 biji. Sekali masak, terdapat 13 tempeh yang ditumpuk ke atas. Dan untuk menjadi 800 bakpao, dibutuhkan tiga kali masak. Selanjutnya, bakpao yang sudah matang lalu diberi stemoek merah diatasnya. Cairan stempel itu dari pewarna makanan. Tujuannya, untuk menandai bakpao itu sesuai dengan isi didalamnya. Dimasa pandemi Covid-19 saat ini, produksi bakpao miliknya juga terdampak. Namun masih dapat bertahan meskipun ada penurunan omzet penjualan. "Ya terdampak. Kadang dua hari baru habis. Tidak seperti sebelum ada Covid-19," akunya. Selain berjualan keliling, Sulastri juga menerima pesanan bakpao. Untuk pesanan, biasanya 1-2 hari sebelumnya harus memberitahu dahulu, agar tidak mengganggu adonan bakpao yang disiapkan untuk berjualan. "Ya kalau pesan jangan mendadak. Adonan bisa ditambah sesuai pesanan. Sehingga tidak mengurangi adonan bakpao yang untuk dijual," pungkasnya. (yus)

Tags :
Kategori :

Terkait