Oleh: Dahlan Iskan
Tumben. Kali ini Tiongkok tidak segera melakukan tit-for-tat. Pembalasan setimpal itu.
Tumben. Tidak seperti dua kejadian tahun lalu. Setiap kali Presiden Donald Trump menaikkan tarif bea masuk, Tiongkok langsung membalas. Setimpal. Hampir spontan. Hari itu juga.
Ini sudah lima hari berlalu. Sejak Amerika menaikkan bea masuk yang terbaru. Yang gila-gilaan itu. Dari 10 ke 25 persen. Untuk barang dari Tiongkok. Senilai hampir Rp 3.000 triliun.
Sampai tadi malam belum ada pengumuman tit-for-tat dari Beijing.
“Bukan itu yang kami inginkan,” ujar pimpinan asosiasi petani kedelai Amerika. Seperti yang saya kutip dari media-media di Amerika. Petani kedelai amat sedih melihat kegarangan Trump itu.
Mereka memang yang paling terkena pembalasan Tiongkok nanti. Akibat pembalasan tahun lalu saja, petani kedelai sudah rugi sekitar Rp 150.000/ton. Nanti itu kerugian bisa mencapai sekitar Rp 700.000/ton.
Tapi Trump minta petani tidak usah khawatir. “Pemerintah bisa beli kedelai dari petani. Sampai senilai lebih Rp 200 triliun,” ujar Trump kepada wartawan akhir pekan lalu. “Dananya diambil dari peningkatan bea masuk barang Tiongkok itu,” tambahnya.
Amerika, menurut perhitungan Trump, bisa memperoleh pendapatan baru. Sebesar Rp 3.000 triliun setahun. Dari peningkatan bea masuk tersebut. Kalau yang Rp 200 triliun untuk membeli kedalai toh masih tetap untung.
Tapi di Amerika jalan pikiran seperti itu tidak disukai petani. Tahun lalu saya keliling daerah pertanian di pedalaman Kansas. Diskusi dengan koperasi tani di sana. Jalan pikiran seperti Trump itu dianggap memanjakan petani. Bertentangan dengan jiwa kapitalisme.
“Kami ini sudah lima generasi di pertanian. Kesulitan itu biasa. Selalu ada jalan keluarnya. Tapi kali ini bisa mematikan,” kata petani.
“Tidak mudah membangun infrastruktur perdagangan seperti yang kami miliki sekian lama. Sekarang akan hancur,” tambahnya.
Pertanyaan lain: untuk dipakai apa kedelai seharga Rp 200 triliun itu? Bukankah Amerika tidak punya Bulog? Akan disimpan di mana?
Trump sudah punya konsep. “Kedelai itu bisa disalurkan untuk bantuan kemanusiaan,” katanya. Bisa dikirim ke negara-negara miskin.
Manusiawi sekali. Logis sekali. Dermawan sekali.
Tapi ditertawakan di sana. “Itu akan menghancurkan sistem pertanian di negara miskin,” ujar mereka. “Harga kedelai di negara penerima bantuan akan jatuh. Petani kedelai hancur. Ketika bantuan itu tidak ada lagi, petani sudah tidak bisa bangkit. Sistem pertaniannya sudah rusak.”
Trump masih tetap pede. Khas Amerika. Ia berharap Tiongkok menyerah saja. ‘Hukuman’ minggu lalu itu sangat berat. Menurut laporan yang diterima Trump ekonomi Tiongkok sangat limbung.
Menyerahlah. Begitu pesan terbesarnya.
“Silakan saja kalau Tiongkok akan menunggu terpilihnya presiden baru dari Demokrat. Dua tahun lagi,” ujar Trump. Dengan sinisnya. “Tapi kalau menunggu itu, dan ternyata saya terpilih lagi, yang akan saya lakukan lebih buruk lagi,” ancamnya.
Hemmm.
Sabar... Sabar. Orang Surabaya sering bilang: “yang waras yang harus mengalah”. Saat menghadapi orang dengan pikiran gila.
Pun kepada Iran. Ternyata maunya Trump seperti itu. Menyerahlah. Ketika Trump tiba-tiba membatalkan perjanjian internasional. Mengenai penghentian program nuklir Iran. Yang ditandatangani Presiden Obama. Bersama negara-negara seperti Inggris, Perancis, Rusia, dan Tiongkok. Bahkan Trump menambah lagi dengan sanksi baru. Bulan lalu.
Menyerahlah ke Trump. Ternyata itu maksudnya. Atau akan terus digencet.
Sampai minggu lalu Iran belum juga memberi tanda-tanda menelepon Trump. Karena itu pesawat pembom Amerika dikirim ke Bahrain. Nongkrong di situ. Di seberang halaman depan Iran. Kapal induk Amerika juga mendekat ke Teluk Hormuz. Yang memisahkan Iran dengan negara-negara Arab. Yang menjadi andalan lalu-lintas kapal bermuatan minyak dan gas.
Kini tiga sektor dunia tegang: Selat Hormuz, Teluk Korea, dan Selat Taiwan. Tiga-tiganya melibatkan angkatan perang Amerika.
Tapi yang paling dag-dig-dug rasanya Boeing. Yang baru terpukul oleh dampak bisnis jatuhnya Boeing 373-800MAX. Tit-for-tat yang akan dilakukan Tiongkok bisa jadi tidak hanya menyangkut kedelai. Tapi juga pembatalan pembelian 100 pesawat Boeing. Yang itu saja sudah bernilai Rp 150 triliun.
Masih harus kita tunggu: adakah jurus panda mabuk akan muncul dari Beijing.
Gila dan mabuk mungkin sedikit saja bedanya.(*)