Sudah Selesai Seperti Apa?

Rabu 21-10-2020,17:01 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Ali Murtadlo Tulisan saya "Sudah Selesai dengan Dunia" Sabtu 17 Oktober lalu dapat berbagai tanggapan. Saya cuplikkan dua di antaranya yang menurut saya cukup menginspirasi: Pertama dari seorang perempuan alumnus psikologi UI yang kini menjadi head of HRD di perusahaan swasta, tinggal di Jakarta: Bisa kita mulai dari hal-hal kecil. Saat yang lain berlomba cantik menirukan dandanan selebritis ke salon mahal, kita justru puas merawat kebersihan wajah dengan wudhu dilanjutkan sholat. Untuk cantik tidak harus mahal. Kita bisa mengonsumsi buah segar dan menggunakannya untuk masker atau luluran. Sehat, murah, dan ramah lingkungan. Sisa dananya dipakai untuk menyantuni anak-anak yatim piatu atau rumah-rumah tahfidz atau mereka yang kesulitan karena terdampak Covid. Saat yang lain belanja tas Hermes, Michael Kors, atau LV new collection, kita bangga memakai tas hasil rajutan oma-oma di rumah-rumah lansia. Saat yang lain sibuk mengejar berbagai jabatan dengan berbagai cara dan pencitraaan, kita sibukkan diri dengan menghisab berapa banyak waktu yang kita pakai untuk mengumpulkan bekal pulang ke akherat. Sudah cukupkah bekal kita untuk menjadi orang yang terpilih pulang dengan lembut. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi. Masuklah ke dalam kelompok hambaku, masuklah ke surgaKu." Kedua: dari dokter alumni FK Unair yang kini tinggal di Bangkalan. Dalam skala kecil, saya sering berucap dan bertindak seperti itu. Kerja keras sudah. Nakal sudah. Menumpuk harta sudah. Koleksi mobil sudah. Koleksi yang lain juga sudah. Maka, sejak menginjak 50 tahun, saya ngomong kepada istri, mari kita kita pakai sisa umur dengan banyak beramal. Banyak berbuat baik. Belajar agama. Mendedikasikan sisa hidup untuk umat di sekitar. Mulai merutinkan ke masjid dan menghabiskan siswa umur untuk kepentingan masjid. Dari hari ke hari hanya menata hati, menata keluarga, dan menyiapkan kematian. Untuk itu, insya Allah, akhir bulan ini, saya mengajukan pensiun dini meski teman-teman seangkatan menasehati jangan bahkan memarahi. Tapi, saya tak peduli karena saya ingin menghadapNya dengan bersih dan dicintai Allah dan rasulNya. Ada NBnya: maaf bukan ria. Semoga jadi inspirasi. Tentu ada juga sudah punya cara bagaimana "menyelesaikan dunia" seperti halnya Prof Din Syamsuddin dan dua tulisan di atas. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonenesia (KGI)

Tags :
Kategori :

Terkait