Oleh: Dahlan Iskan
KEMARIN adalah 40 hari meninggalnya pendeta Abraham Alex Tanuseputra. Anak-anaknya tentu mulai membicarakan harta waris. Pun anaknya yang dulu tidak menyukai bapaknya itu. Bisa saja ada anak yang tidak suka bapaknya tapi suka warisannya.
Apalagi Pendeta Alex yang hebat itu meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat. Sampai minggu lalu anak-anaknya tidak tahu itu. Ketika informasi itu saya sampaikan ke salah seorang anaknya, dia tampak 'seperti tidak menyangka'. Alex benar-benar tidak pernah menulis testamen. Juga tidak pernah meninggalkan dokumen. Khususnya tentang kekayaannya nanti untuk siapa saja.
Semua dokumen aset Alex itu ada di tangan seseorang yang sangat dipercaya oleh Alex. Saya sudah bertemu dengan orang kepercayaan tersebut.
Sebenarnya ketika Alex dalam suasana tersingkir dari anaknya, ia punya keinginan membuat testamen. Yakni agar sebagian kekayaannya diberikan kepada lembaga Alex's Ministerial. Yakni lembaga pelayanan Tuhan yang ia dirikan di Jakarta. Itu dimaksudkan untuk kelangsungan masa depan Alex's Ministerial dalam melayani Tuhan.
Sudah jadi pengetahuan publik Alex tersingkir dengan tragis dari Bethany —Gereja besar yang dirintis dan dibesarkannya.
Meski begitu Alex tidak mau mendirikan Gereja sendiri. Juga tidak mau pindah ke gereja lain. Tidak pula mau mengajak sebagian anggota gereja Bethany untuk memihak padanya.
Alex sangat mencintai Bethany dan umatnya. Pun ketika sudah tersingkir dari situ. Kebesaran Alex adalah kebesaran Bethany. Kebesaran Bethany adalah kebesaran Alex.
Alex, menurut orang terdekatnya, sangat merana tersingkir dari Bethany. Sangat kesepian. Sangat sendirian.
Tapi Alex tidak bisa untuk tidak melayani Tuhan. Itu adalah hidupnya. Itu adalah darah dagingnya. Dan itu adalah sumpahnya: untuk sepenuhnya melayani Tuhan seumur hidupnya. Terutama setelah kejadian tahun 1965, ketika ia berumur 18 tahun. Ketika mobil Mini Cooper-nya menabrak anak kecil di dekat Mojokerto, tempat kelahirannya.
Alex mencari jalan lain untuk bisa tetap melayani Tuhan. Bersama Elke Widjanarko dan tim doanya, Alex memilih mendirikan Alex's Ministerial. Yang bisa melayani semua gereja. Yang tidak memihak ke salah satu gereja.
Beberapa kali Alex meminta pengacaranya untuk membuatkan dokumen testamen harta waris itu. Agar masa depan Alex's Ministerial terjamin. Agar Alex tetap bisa melayani Tuhan pun setelah ia meninggal dunia.
Tapi sang pengacara menyarankan untuk tidak perlu membuat langkah seperti itu. Setiap kali ketemu pengacara itu Alex mengingatkan perlunya dokumen itu. Alex mengemukakan alasan bagaimana Alex's Ministerial bisa terus hidup kalau tidak diberi modal.
Tapi sang pengacara tetap mengulur-ngulurnya. Alex sangat percaya dengan pengacara ini. Elke-lah yang mencarikan pengacara ini untuk Alex. Yakni ketika Alex harus menghadapi banyaknya perkara pidana akibat diadukan oleh kelompok anak laki-lakinya.
Testamen itu tetap tidak dibuat oleh si pengacara. Sampailah terjadi wabah pandemi. Pertemuan antara Alex dan pengacaranya semakin jarang. Sampai akhirnya Alex meninggal dunia.
Sikap pengacara seperti itu juga sudah dibicarakan dengan Elke Widjanarko, ketua tim doa di Alex's Ministerial.
Elke lah yang selama enam tahun terakhir terus mendampingi dan melayani Alex. Di saat Alex tersingkir dari Gereja yang didirikan dan dibesarkannya. Juga di saat Alex dijauhkan dari anak-anaknya sendiri. Juga di saat Alex menghadapi istrinya yang sakit dan sudah sering lupa.
Dan terutama di saat Alex tersiksa batin berkepanjangan karena harus menghadapi pemeriksaan-pemeriksaan polisi. Perkara-perkara pidana itu harus Alex hadapi akibat pengaduan dari kelompok anak laki-lakinya.
Anak laki-laki itulah, David Aswin, yang diserahi Alex menggantikannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Bethany yang baru. Yang lantas memecat bapaknya itu. Dan melarang bapaknya memasuki gereja mana pun di lingkungan Bethany.
Elke sependapat agar tidak perlu ada testamen tentang harta waris Alex untuk Alex's Ministerial. Itu untuk menghindari fitnah. Ahli waris Alex kelak tentu akan mempersoalkan testamen itu —kalau ada testamen seperti itu.
Apa pun keluarga Alex sudah telanjur menganggap Elke punya hubungan terlalu jauh dengan Alex. Terutama oleh anak laki-lakinya itu. Dan Alex's Ministerial sudah identik dengan Elke —sebagai motor penggeraknya.
Elke bercerita panjang lebar soal bagaimana hubungannya dengan Alex —yang dia panggil sebagai Opa. Empat jam saya berbicara dengan Elke. Terlalu panjang ditulis di sini. Saya akan menuliskannya di Harian Disway yang terbit di Surabaya secara bersambung mulai edisi Sabtu lusa. Sebagai lanjutan dari serial Alex Putra Sang Penabur yang sudah terbit bersambung sejak minggu lalu.
Saya juga sudah bertemu Hanna, anak sulung Alex. Bahkan dua kali. Tentu saya juga dua kali bicara dengan pendeta Yusak, suami Hanna.
Hanya saja saya belum berhasil bertemu David Aswin. Saya sudah berkomunikasi tapi belum bisa bertemu. Waktu itu alasannya karena ia lagi isolasi untuk menghindari Covid-19. Tapi ketika saya tawarkan via Zoom akhirnya Aswin memberi info untuk tidak perlu memberi keterangan apa pun.
Saya masih akan terus berusaha menemuinya. Agar tulisan ini lebih berimbang dari segala pihak.
Tapi saya juga maklum. Jangankan bertemu wartawan, bertemu kakak sulungnya sendiri saja tidak mau. Bahkan ketemu bapaknya pun.(*)