Akhir Perjalanan Mahasiswi Cantik Pemuja Ideologi Pancacinta (1)

Kamis 17-09-2020,15:15 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Saat Membalik Papan Nama, Tangan si Cowok Menyenggol Dada

Ibarat Pancasila yang jadi dasar NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia), Eli (samaran) meyakini Pancacinta sebagai ideologi mahligai rumah tangga. Lantas, apa saja cinta-cinta dalam Pancacinta? Menurut Eli, yang pertama cinta ke kasih. Yang kedua cinta ke ketampanan. Yang ketiga cinta ke kekayaan. Yang keempat cinta ke kemapanan. Yang terakhir cinta ke keturunan. “Yang penting yang pertama, cinta ke kasih,” ujar pengacara Eli menirukan ucapan kliennya saat bertemu Memorandum di warung sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Menurut pengacara tadi, sebut saja As, Eli mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu Agus, 10 tahun lalu. “Waktu itu mereka sama-sama jadi maba (mahasiwa baru, red) perguruan tinggi swasta di Surabaya,” kata As. As pun bercerita, pada pembukaan ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), Eli diminta mahasiswa senior menghafalkan Pancasila. Dengan PD gadis berambut sebahu itu bergegas maju. Satu per satu sila Pancasila disuarakan lantang. Setelah itu Eli balik ke barisan maba. Tapi, mahasiswa senior tadi menyuruh Eli mengulanginya. Begitu terjadi sampai tiga kali. Ada apa? Semua bertanya. Sebelum disuruh mengulang yang keempat, Eli ditanya. “Kamu hafal Pancasila tidak?” tegas si mahasiswa senior. “Siap. Hafal.” “Bohong.Tiga kali kamu salah!” Suasana tegang. “Ulangi!” Eli sekali lagi menghafal satu per satu sila Pancasila. Sampai selesai. Ludes-des-des. Lantas, apa yang terjadi? Dengan mata merah dan suara begetar mahasiswa senior maju mendekati Eli. “Masih salah!” Eli diam. Kecut. Wajahnya pucat. “Kamu tahu kesalahanmu?” bentak mahasiswa senior. Eli diam. Semakin grogi. Suasana semakin tegang. “Siapa yang tahu kesalahan dia?” tambah mahasiswa senior sambil menuding Eli. Yang dituding mengkeret.Tidak ada yang menjawab. Suasana semakin tegang. Senyap menyergab. “Saya hitung tiga kali. Kalau sampai hitungan ketiga belum ada yang menjawab, kalian terpaksa tidak diperbolehkan pulang. Harus menginap di sini sampai ada yang bisa menjawab. Tidak peduli harus menginap sampai berapa hari. ”Setelah menatap satu per satu mata maba, mahasiswa senior mulai berhitung, “Satu.” Para maba yang tadinya memandang mahasiswa senior, satu demi satu menunduk. Mengalihkan pandangan ke lantai. “Dua.” Ketegangan memuncak. “Ti...” sebelum mahasiswa senior melanjutkan mengucapkan kata “ga’, tiba-tiba ada maba cowok yang mengangkat tangan, “Siap. Saya tahu kesalahannya.” “Nya siapa?” “Dia.” “Dia siapa?” Maba cowok tadi lantas berlari ke depan Eli dan membalik kertas papan nama yang ditali kalung ke leher. “Eli senior,” bacanya keras-keras. Eli nyaris menampar cowok tadi, karena ketika membalik kertas papan nama, tangan si cowok menyenggol dadanya. Krenyeng. Tapi, Eli tidak memiliki nyali untuk itu. Ia hanya sempat membaca namanya, Agus, dan bertekad akan membalasnya nanti. Suatu saat. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email yulisb42@gmail.com. Terima kasih
Tags :
Kategori :

Terkait