Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Kuldesak. Jangan berbincang soal halal atau haram. Di tengah deraan kemiskinan, seseorang kadang bisa kehilangan arah. Sering malah. Mereka mencari pembenar atas apa yang mereka lakukan. Benarkah? Kita bisa menyalahkan karena tidak berada di posisi mereka. Andai sebaliknya?
Setelah aksi keterpaksaan yang dilakukan Ria untuk menutupi bunga pinjaman, Prayogi mulai bisa menerima. Tapi siapa sangka, beban berat enggan beranjak dari tulang rapuh mereka. Kebutuhan susu anaknya yang tinggi, karena Ria tak bisa menyusui, membuat cekikan bunga rentenir itu nyaris mematikan nafas mereka.
Sebulan kemudian, kebutuhan jauh lebih tinggi dan mereka tersudut lagi. Tentu saja bunga pinjaman. Mereka mencoba bertahan dalam aturan norma, tapi akhirnya tersudut juga.
Malam itu, Ria dan Prayogi kembali termenung di kamar kos mereka. Anak semata wayang keduanya sudah terlelap. Biarlah gadis kecil itu dibuai mimpi indahnya. Ria dan Prayogi tahu akhir minggu itu harus kembali membayar bunga pinjaman tersebut. Itu pun sudah mundur lebih dari seminggu dari yang seharusnya.
Hingga tengah malam, tidak ada yang memulai obrolan. Sampai akhirnya Ria yang memulai obrolan. “Mas, aku cari uang kayak yang kemarin ya. Sumpah aku tidak ada niatan apa-apa. Sampai sekarang, kita belum menemukan jalan keluar dari masalah ini,” kata Ria sambil membekap dan mencium tangan suaminya.
Prayogi makin terdiam dan mulai meneteskan air mata. “Aku ini suami macam apa,” gerutu Prayogi menahan tangis. Ria tidak menjawab dan semakin membekap tangan suaminya. Sesekali Ria menciumi pipi lelaki yang kehilangan seinci tulang keringnya karena kecelakaan kerja itu.
“Mas, aku hanya cari uang. Hanya dengan cara ini masalah kita bisa lebih cepat selesai,” kata Ria.
Malam itu mereka bermesraan dan diakhiri dengan percintaan. Nyaris seperti saat mereka menikmati malam pertama yang penuh gelora. Percintaan itu akhirnya menjadi tanda, Ria akan mencari uang dengan cara itu. Kalau kondisinya terpaksa dan sudah tidak ada jalan lain.
Beberapa waktu, Ria kembali mengulang hal yang sama. Itu pun hanya sebatas untuk menutupi kebutuhan mendesaknya. “Akhirnya kami sepakat Ria bekerja di tempat itu. Agar masalah kami segera cepat selesai dan utang pokok bisa segera terbayar. Andai kami ada jalan lain, kami tidak akan menempuh jalan ini. Sakit hati dan panas cemburu, harus aku tahan,” kata Prayogi dalam pertemuan di malam itu.
Prayogi juga sempat mengatakan, mereka hanya butuh untuk menutupi utang ke rentenir itu. “Kalau sudah lunas, kami akan mencari modal dan memulai lembaran baru. Di jalan yang lebih terhormat, Mas,” katanya.
Saat bersamaan, Ria tampak berjalan dari kejauhan menghampiri kami. Jujur, baru malam itu Memorandum memperhatian sosok Ria dari dekat dan mencermati wajahnya. “Emane,” batin Memorandum sambil mengiyakan Prayogi yang pamit pulang.
Sepertinya, Memorandum harus ke panti pijat itu. Mencari Ria sebelum terlambat. Sebelum utangnya lunas. (*/habis)