Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Masuk dunia rentenir ibarat terjebak lingkaran setan. Sulit untuk keluar. Kita akan dijerat bunga berbunga yang seolah tidak ada habinya. Tidak ada ujung saking beratnya cicilan.
“Jadi selama belum lunas, Sampeyan harus bayar Rp 3 juta setiap bulannya?” tanya Memorandum yang baru tahu ada pinjaman sesadis itu.
“Iya, Mas. Itulah yang kemudian membuat kami pontang-panting empat tahun terakhir ini. Selama ini, kami belum bisa mencicil utang pokok itu. Saya dan istri belum bisa bekerja sejak saya kecelakaan sampai anak saya usia dua bulanan,” jlentreh Prayogi.
Dengan kaki yang masih terbalut perban, jelas Prayogi tidak bisa mencari nafkah. Akhirnya Rialah yang maju sebagai pengganti menjadi tulang punggung keluarga. “Dia sempat kembali menjadi pembantu di rumah dekat tempat kos. Tapi, itu tidak lama karena mereka (juragan, red) selalu ingin pembantu tidur dalam. Kalau Ria tidur di rumah majikannya, siapa yang merawat anak saya dan saya?” tutur Prayogi lagi.
Beberapa kali pindah majikan, mereka selalu minta hal yang sama. Pembantu harus tidur dalam. “Tidak ada yang mau menerima pembantu yang hanya datang pagi dan pulang sore,” tandas Prayogi.
Setelah menganggur beberapa hari di rumah kos, ada tetangga yang mengajak Ria bekerja di sebuah salon kecantikan. Jam kerja lebih jelas. Sejak pukul 10.00 sampai dengan pukul 21.00 dengan jeda istrirahat siang dua jam. “Itu jauh lebih baik daripada menjadi pembantu,” kata Prayogi, yang mengaku sempat sedang dan berharap ada jalan keluar dari masalahnya.
Tiga tahun lalu, Ria pun bekerja di salon kecantikan. Walaupun tanpa keahlian apa-apa. “Memang Ria hanya asisten. Hanya bagian keramas atau mengeringkan rambut pelanggan. Kami mulai senang karena Ria bisa mencari uang dan tidak meninggalkan keluarga,” kata Prayogi.
Tapi, karena bekerja di salon itulah, masalah baru mulai muncul. Memorandum menyimak sambil sesekali menggoda anak gadis Prayogi dan Ria.
“Saat bekerja di salon itulah…,” kalimat Prayogi terputus.
Dari jauh Ria tampak keluar dari ruko berwarna dominan merah muda itu. Melihat Ria datang, Prayogi bersiap. Bangkit dari duduk, mengambil makanan pesanan dan membayarnya, kemudian mencantolkan ke stang motor. “Saya pulang dulu ya Mas. Terima kasih tadi sudah menemani ngobrol,” kata Prayogi pamit setelah Ria duduk di jok boncengan. Mereka pun berlalu.
“Jangkrik…,” maki Memorandum dalam hati.
Tinggal sedikit lagi terkuat kisahnya, terputus. Penasaran semakin menggunung. Rasa ingin tahu semakin menjadi. “Besok harus kembali ke sini lagi,” janji Memorandum dalam hati. (*/bersambung)